Teh Manis Hangat

38 6 0
                                    

Matahari sudah berada di puncaknya saat Brian kembali ke kamar kosnya. Untuk beberapa saat Brian meringkuk diatas kasurnya, berusaha untuk memejamkan mata, namun akhirnya gagal. Dia hanya menghela nafas saat berniat untuk bersih-bersih kamar kosnya. Tangannya memencet tombol remote televisi, menggeser belasan judul film tanpa memulainya. Akhirnya di tengah rasa pusing yang mendera Brian pergi ke tempat Gym.

Sesampainya di sana, tak sampai 10 menit Brian kehilangan tenaga. Demam kembali mendera tubuhnya, disertai sakit kepala ringan. Segera ia mengenakan jaket, dan keluar dari tempat Gym.

Ditengah perjalanan, Brian bingung harus pergi ke mana. Dia membayangkan betapa sunyi dan membosankannya di rumah, sementara jika harus jalan-jalan badannya serasa berteriak minta istirahat. Akhirnya diantara pergolakan batin itu Brian berhenti di sebuah kantor yang lebih mirip rumah tinggal. Alamatnya didapat dari google map. Brian duduk mematung di joknya mengirimkan pesan. Satu, dua, tiga, sepuluh menit berlalu tanpa jawaban.

"Cari siapa mas?" tanya satpam ramah.

"Cari Hatice pak. Ngapunten bade tanglet, Kantor pulang jam berapa biasanya?"

"Biasanya sih jam 5 mas, tapi niki biasane lembur sedoyo mas." Satpam menginformasikan bahwa akhir-akhir ini pegawai One Hundred Percent lembur.

Detik itu juga Brian mengurungkan niat untuk menemui Hatice. Tapi belum sempat dia menyalakan mesin motor, Hatice turun dari kantor ke arah parkiran.

"Kak Brian?" sapa Hatice dengan nada terkejut melihat Brian.

"Oh, aku tadi mampir ke sini dari rumah sakit, katanya kamu lembur, jadi aku balik dulu aja, biar nggak ganggu kamu."

Hatice mengamati kondisi Brian. Dia tak serapi biasanya, maksudnya biasanya Brian yang berpenampilan parlente ala old money generasi ke tiga. Sorot matanya tak seperti biasanya, dia seperti linglung. Brian mengenakan baju kaos dengan jaket the north face, di motornya ada tas dari tempat GYM. Di tangan kirinya masih terlihat plester bekas infus.

"Kakak sudah makan? Mau makan?" tanya Hatice tiba-tiba.

"Aku denger kamu lembur, jadi.."

"Fiq, kamu bisa meeting sendirian sama vendor bunganya kan?" tanya Hatice.

"Bisa mbak," jawab Fiqa ragu sambil garuk-garuk kepala.

"Oke nanti tolong sesuaikan saja sama rancangan ini, terus kabari aku ya." Hatice berjalan ke arah Brian yang menunggu di depan ruang satpam.

"Siap mbak."

"Hayuk."

"Mau naik motor?" tanya Brian yang tadinya sungkan kini sopan menawarkan diri.

"Motornya masukkan aja kak, kita jalan kaki aja, warungnya di belakang sini, makan warung mau nggak?"

"Boleh, nggak masalah." Jawab Brian sambil menitipkan motor di pos satpam. "Monggo pak."

"Oh enggeh, enggeh mas." Jawab satpam itu ramah.

Keduanya lalu berjalan menyusuri deretan rumah mewah di lingkungan itu. Awalnya Hatice berjalan di arah luar, kemudian Brian meraih bahu Hatice, memintanya untuk berjalan di sisi dalam, sementara ia berpindah posisi, manner Brian memang tak perlu diuji.

Langkah kaki mereka terhenti di sebuah gerobak pkl. Bannernya bertuliskan warung sehat bu Andika. Hatice memasuki warung bertenda pinggir jalan itu dengan santai. Gaya pakaiannya berbeda hari ini. Dia mengenakan kaos maxi panjang berwarna abu dengan hijab hitam yang diikatkan secara asal di leher. Tangannya menenteng tas dumpling kecil berwarna pink dan magenta. Bila diperhatikan sekilas di kaosnya terdapat sisa cipratan cat berwarna-warni, dan dia tak terganggu berjalan berdampingan dengan Brian yang super rapi nan klimis.

Solace in a cup of teaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang