Teh Hibiscus

30 7 0
                                    

Seusai makan Brian dan Hatice kembali ke kantor Hatice untuk sholat maghrib. Brian sempat melihat-lihat ke warehouse tempat stand pameran di bangun rangkanya. Dia jadi tahu dari mana asal-usul percikan cat yang menempel di baju Hatice.

Mushollah kantor terletak di lantai dua. Di lantai yang sama dengan ruang rapat dan meja pegawai. Selepas sholat Hatice berjalan ke mejanya, Brian mengekor bak anak bebek di belakangnya. Hatice mengenakan kaos kaki dan sandalnya serta menyimpan kembali sandal swallow yang dipakainya untuk sholat.

Sesaat setelah mengganti sepatu, Hatice bangkit kembali dari kursinya masuk ke sebuah ruangan kecil dan kembali dengan dua cup air hangat. Ia kemudian membuka laci mejanya. Tangannya bergerak diantara kotak teh dan kopi yang ada di mejanya, lalu ia mengeluarkan dua kantong teh. Dalam beberapa saat warna air berubah menjadi merah, baunya wangi seperti jeruk. Brian yang awalnya tertarik dengan foto-foto di meja Hatice menjadi penasaran dengan teh yang baru diseduh.

"Ini apa?"

"Teh hibiscus, katanya ini baik buat pencernaan, rasanya juga unik kayak delima gitu. Atau mungkin karena sama-sama warna merah gitu ya jadi berasanya mirip."

"Aku minum ya, bismillah." Brian menyeruput teh buatan Hatice.

"Mau tambahan gula nggak? Itu sih uda ada tambahan lemonnya jadi kerasa kayak ada kecut-kecut seger gitu lah."

"Segini aja udah enak kok. Katanya kamu bukan pecinta teh tapi koleksi kamu banyak juga di kantor." Brian mengamati isi laci meja Hatice.

"Kebanyakan isi kopi kok, tehnya yaa adalah beberapa, itung-itung ngurangin stock di rumah."

"Oh iya kakak kan dokter anak, mau sticker nggak, aku punya banyak." Hatice memberikan dua genggam sticker kecil ke tangan Brian.

"Ini apa?" tanya Brian saat menerima sticker lucu beraneka rupa.

"Itu maskot brand yang pernah aku buat, lucu ya," jawab Hatice. Brian ikut tersenyum gemas.

"Makasih banyak yaa.."

"Sama-sama," seru Hatice sambil minum dari cup di tangannya. Brian ikut tersenyum sambil menyeruput teh hibiscus.

Lalu datanglah perempuan muda dengan lanyard yang sama seperti milik Hatice. Dia menyerahkan satu box kecil berwarna putih ke arah Hatice. "Mbak ini decent parfum tea seriesnya."

"Okie dokie, makasih Sulli," jawab Hatice, sambil melirik ke arah Sulli yang masih berdiri membatu ditempatnya.

"Dasar kecentilan, dokter Brian kenalin ini Sullis tapi dia minta dipanggil Sulli, dia the one and only anak design produk di kantor, tapi seringnya juga ngerjain design segala macem sih."

"Sulli."

"Brian," mereka bersalaman.

"Lagi kosong dok?"

"Ha? Kosong kok lagi kosong," jawab Brian kebingunan entah yang dimaksud kosong itu waktunya atau status hubungannya.

"Kosong delapan berapa dok?" Goda Sulli.

"Hahahaa bisa aja," Brian tersipu mendapat gombalan dari Sulli.

"Udah Sulli sana, balik bikin hampers produk." Usir Hatice.

"Ini parfum yang pecah kemarin nggak sih."

"Iya waktu itu aku bawa versi full size kalo ini versi decantnya, kalo nggak mau dipake sehari-hari bisa jadi pengharum ruangan atau kendaraan. Pokoknya pasca pake ini kamu bakal sampe ogah minum teh lagi lah karena udah keseringan mencium bau teh."

"Yang ada malah keinget kamu entar." Keduanya kembali hening menyeruput minuman masing-masing.

"Ini foto keluarga kamu?" kini Brian selalu punya topik untuk dibicarakan

Solace in a cup of teaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang