6

167 15 0
                                    


Haesa menghela nafasnya, dia merenggangkan ototnya yang terasa kaku "aku lelah." Gumamnya, setiap harinya seperti itu, ototnya terasa kaku setelah melakukan pekerjaan selama satu hari.

"Kau akan langsung pulang Haesa?" Tanya Renjana.

"Hm, aku akan langsung tidur." Jawabnya, melepas apron hitam miliknya dan menggulungnya untuk ia letakkan pada loker miliknya.

Renjana menatap Haesa, dia ragu untuk mengatakannya, membasahi bibir bawahnya yang terasa kering "Haesa, aku ingin mengatakan suatu hal."

"Apa?"

"Mungkin kau tak suka aku membahas ini, tapi aku hanya ingin memberitahu dirimu."

"Apa?"

"Aku melihat Marka kemarin di loby hotel."

"Oh."

"Haesa, kau tidak apa-apa?" Tanya Renjana.

Haesa menggeleng "aku kenapa? Itu sudah dulu dan aku melupakannya, lagipula aku mencintai Jenandra."

"Haesa bagaimana jika kembalinya Marka hanya untuk dirimu?"

Haesa tersenyum kecut "kau tak lupa dulu bagaimana Marka yang menolakku dengan keras? Meneriaki aku dan mengatakan kata-kata kasar? Lalu dia kembali untukku?"

"Siapa tau dia menyesal."

Haesa memggeleng tak percaya "biarkan saja."

"Tapi jika aku bisa memberi saran, lebih baik kau bersama Marka, Jenandra telah menikah, jika kau terus mendekati Jenandra aku khawatir kau akan di cap sebagai perebut walaupun kau yang memiliki hubungan terlebih dahulu bersama Jenandra tapi Alesya yang menikah dengannya."

Haesa terdiam membisu, apa yang dikatakan oleh Renjana ada benarnya "tapi Ren, aku tidak bisa, aku benar-benar mencintai Jenandra."

Renjana menghela nafasnya "baiklah, semua ada padamu, aku hanya mendukung kebahagianmu."

"Aku pulang dulu."

Haesa akan kembali pulang menuju apartemen, menghela nafasnya saat melihat apartemen yang kosong, dia berharap apa? Jenandra yang selalu datang ke apartmennya "Jenandra memiliki tugas sebagai seorang suami." Gumamnya.

Namun tak disangka jika Jenandra berada di kamar tengah tertidur dengan kakinya yang menjuntai ke bawah, tanpa mengganti pakaiannya bahkan dia juga masih menggunakan kaos kaki.

Haesa menghela nafasnya, mendekati Jenandra dan mengangkat kedua kakinya untuk berada pada kasur, melepas kaos kakinya dan meletakkannya di keranjang. Haesa duduk di samping tubuh Jenandra, mengelus wajahnya yang selalu menawan "kau terlihat lelah Jenan." Terdapat guratan di dahi Jenandra, entah dia tengah bermimpi atau karena kelelahan, tangan Haesa terulur untuk mengelus dahi Jenandra, "kau jangan sakit."

Haesa masuk ke kamar mandi, walaupun malam dia harus membersihkan tubuhnya, setelah selesai dia keluar dengan tubuh yang telanjang, dia tidak lagi malu Jenandra melihatnya, berkali-kali tubuhnya dijamah oleh Jenandra, diabsen dari pangkal ke pangkal.

Setelah selesai menggunakan pakaian, Haesa bergabung dengan Jenandra ke ranjang, memeluk Jenandra dengan erat, sangat erat seolah tidak memperbolehkan Jenandra pergi "suami orang, bisakah kau terus bersama diriku? Tapi aku tidak ingin di kenal sebagai perebut dan penghancur rumah tangga, kata ibu itu tidak baik dan berujung fatal." Haesa memainkan jarinya pada dada Jenandra, tempat yang paling Haesa suka, "tapi jika tidak bersama dirimu, aku harus bersama siapa? Apa aku harus mencari kekasih lagi? Tapi aku mencintaimu~" Rengek Haesa.

Tubuh Jenandra tiba-tiba bergerak miring dan memeluk Haesa namun dia masih saja terpejam "cintai aku saja Haesa, jangan mencintai yang lain, hanya aku yang berhak mendapat cintamu." Ujar Jenandra dengan suara yang serak, membuka matanya dan melirik Haesa yang berada di bawah dagunya, "sampai kapanpun, cintamu hanya untukku Haesa bahkan hidupmu." Lanjutnya.

"Jenandra, kapan kau bangun?"

"Saat kau memindahkan kedua kakiku ke kasur, kau tidak lupa jika aku sensitif dengar pergerakan bukan?"

Ah, Haesa melupakannya jika Jenandra tidak bisa mendengar suara dan pergerakan pada tubuhnya jika dia tertidur, dia akan kembali bangun "maaf aku menggangu tidurmu." Sesal Haesa.

Jenandra menggeleng "tidak, kau membantuku untuk tidur dengan nyaman."

Mereka saling diam menikmati kehangatan dari pelukan "Jenandra, jika suatu hari hubungan kita terungkap, kau memilih karirmu atau aku?"

"Kau." Lugas Jenandra.

"Lalu karirmu yang kau bangun bagaimana?" Haesa tau bagaimana sulitnya menjadi seorang artis, iya jika langsung terkenal, namun jika tidak? Terkadang membuat mental terguncang, "a-apa kita akhiri saja hubungan ini?"

"Kau berbicara apa Haesa, aku memilihmu karena aku lebih mencintaimu daripada karirku, aku bisa hidup tanpa aku harus menjadi artis, aku akan meninggalkan orang tuaku untuk dirimu."

"Jangan seperti itu, jangan tinggalkan orang tuamu demi diriku." Haesa melepas pelukannya an sedikit menjauh dari Jenandra, "tanpa orang tuamu, kau tidak ada."

Jenandra mengernyit tak suka melihat Haesa yang menjauh, menyelipkan tangan kirinya ke sekangkangan Haesa dan menarik tubuh Haesa untuk mendekat ke arahnya "jangan menjauh."

"Jenan!!" Pekik Haesa, Jenandra menarik tubuhnya dengan mudah.

Jenandra terkekeh lalu kembali serius "bukan aku ingin menjauhi mereka, tapi jika mereka tetap saja tak memikirkan kebahagiaanku dan tetap memaksakan keinginan mereka, aku rasa aku memiliki hak untuk pergi dan melakukan hidup yang aku mau." Tangan kiri Jenandra beralih mengelus rambut Haesa, "aku bahagia karena dirimu, lalu jika kau pergi maka kebahagiaanku juga akan pergi, jangan pernah memiliki pikiran untuk memutuskan hubungan, tunggu saatnya untuk aku menceraikan Alesya."

"Jenandra, aku memikirkan hal ini tapi aku tidak berani mengatakannya padamu."

"Katakanlah, aku akan mendengarnya."

Haesa menggigit bibir bawahnya dan menelan ludahnya susah payah "ba-bagaimana jika kau pertahankan pernikahanmu dengan Alesya? Pernikahan itu suci Jenandra tidak untuk dipermainkan."

Wajah Jenandra berubah datar tak suka dengan apa yang Haesa katakan "apa yang kau katakan itu Haesa?!"

"Hubungan kita salah, a-aku tidak suka jika aku sebagai selingkuhan–" Haesa menjeda kalimatnya, dirinya menunduk tak berani menatap wajah Jenandra, "wa-walaupun a-aku lebih dulu bersamamu." Haesa mencengkram pakaian Jenandra, dia dilanda ketakutan saat tak mendengar balasan Jenandra, dia juga masih tidak berani untuk menatap langsung.

Jenandra memeluk Haesa dan menenggelamkan kepala Haesa ke dadanya, mengecup pucuk kepala Haesa berkali-kali tanpa suara.

"Jenandra." Haesa mencoba melepas pelukan Jenandra yang sangat kuat.

Jenandra semakin menguatkan pelukannya "diam Haesa, aku tengah marah tapi tidak ingin melukaimu, biarkan kemarahanku berkurang dengan memeluk dirimu." Ujar Jenandra dengan lembut.

Tubuh Haesa melemah membiarkan Jenandra memeluknya, Haesa menghirup aroma tubuh Jenandra yang sangat ia suka, menenangkan.

Setelah beberapa menit kesunyain melanda akhirnya Jenandra buka suara "aku tau pernikahan itu suci dan tidak untuk dipermainkan, tapi aku juga tidak berniat melakukannya, orang tuaku yang memaksaku jadi bukan aku yang melakukannya, berkali-kali aku menolaknya tapi mereka memiliki banyak cara untuk membuatku patuh." Jenandra mengelus rambut Haesa, dadanya merasakan basah, "jangan menangis." Ujarnya.

My Friend Is My Lover  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang