5

168 15 0
                                    

Setelah menggunakan bathrobe Haesa buru-buru meraih ponselnya dan mengirimkan Jenandra sebuah pesan teriakan.

Bohong, Haesa tidak pergi berkencan dengan Nava apalagi keluar dari apartemen, dia hanya menghabiskan waktunya di apartemen yang baginya sangat nyaman itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bohong, Haesa tidak pergi berkencan dengan Nava apalagi keluar dari apartemen, dia hanya menghabiskan waktunya di apartemen yang baginya sangat nyaman itu.

"Hidup tanpa Jenandra kenapa tenang sekali." Tapi dia tidak menyukainya, setelah bersama Jenandra dia tidak lagi merasa kesepian dan dia juga merasa hidup kembali setelah belasan tahun menjadi mayat hidup, rumitnya masalah yang ia emban terkadang berpikiran menyerah selalu menyergap pikiran.

"Sayang." Jenandra langsung mematikan ponselnya mendengar suara mendayu dari istrinya.

Cih, untuk mengingat perempuan itu istrinya sungguh memuakkan, karena pencitraan dan dramanya yang buruk itu dia terkena ocehan dari mamanya sendiri, mengatakan jika dirinya jangan keluar terlalu lama karena 'istrimu khawatir' dan 'bagaimana jika terjadi sesuatu pada istrimu nantinya' bahkan jika dia mati Jenandra tidak peduli, peduli apa dia dengan perempuan genit dan gatal seperti Alesya.

Dan masalah kenapa dia langsung menutup ponselnya karena dia tengah memutar ulang video Haesa yang tengah melakukan solo dengan selang air, begitu menggairahkannya kekasihnya itu, undangan untuk selalu digauli.

Bukan tidak ingin menunjukkan Haesa atau dia malu, perasaan itu tidak ada pada Jenandra, dia hanya khawatir pada kekasih mungilnya itu, bagaimana jika fansnya menyerang Haesa yang ia ketahui fans nya cukup fanatik.

"Ada apa?" Datar Jenandra, tidak perlu menunjukkan senyuman, jika dia pintar seharusnya dia tau ekspresi Jenandra sedang tidak ingin diganggu.

"Ka-kau tidak ingin melakukannya?"

Jenandra memandang dengan skeptis, dia langsung mengerti apa yang dimaksud oleh Alesya "tidak." Datarnya.

"Jike begitu aku akan mengadu pada ibu."

Jenandra terkekeh "pengadu, berapa umurnu bocah, apa kau pikir ancamanmu itu berlaku untukku? Tidak sama sekali."

Tangan Alesya terkepal, dia memutar otak, bagaimanapun caranya Jenandra harus menyentuhnya "Jenan, aku merekam semua pembicaraan kita, jika kau tidak melakukannya maka aku akan mengunggah ini ke sosial media tentang perlakuanmu terhadap istrimu." Tersenyum miring, itu dipastikan akan berhasil, siapa orang yang mau resputasinya hancur.

"Baiklah, kau tunggu aku di kamar aku akan membakanmu minum, seperti yang Haesa katakan, mungkin kau tidak akan bisa berdiri."

Alesya tersenyum kemenangan, dengan riang dia kembali ke kamarnya, dia hanya meminta sentuhan seorang Jenandra karena dia istrinya apakah itu dilarang? Walaupun ia akui untuk mendapatkannya harus dengan ancaman.

Jenandra membawa nampan yang terdapat teko dan dua cangkir, dia membawanya ke arah kamar dan meletakkannya di atas meja kecil, menuangkannya pada dua gelas tersebut "minumlah, aku akan membersihkan tubuhku terlebih dahulu."

"Kenapa kau harus mandi?"

"Kau seperti jalang yang haus sentuhan, aku hanya mandi sebentar." Ujar Jenandra, "jangan membuatku kesal atau ini tidak akan berlanjut."

"Baiklah." Alesya meraih cangkir tersebut dan meminumnya hingga tandas.

Tak lama kemudian Jenandra keluar hanya menggunakan handuk di pinggangnya "kau sudah siap?"

Alesya mengangguk semangat, dia berdiri dengan sedikit sempoyongan entah karena apa "itu alkohol?" Kedua tangannya mengalung pada leher Jenandra, wajahnya memerah hingga leher.

Jenandra mengangguk "kau perempuan peminum, hanya minum satu gelas sudah membuatmu mabuk?"

Alesya menggeleng tanda tak terima "aku tidak mabuk hanya sedikit pusing saja."

Jenandra mendorong tubuh Alesya ke kasur, sedangkan Alesya tengah menunggu apa yang akan Jenandra lakukan padanya.

"Mari kita mulai sayang."
.
.
.
Pagi-pagi sekali Haesa bersemangat untuk berangkat bekerja, bukan karena dia memiliki kekasih seorang artis dan dia tidak bekerja, hidup membutuhkan uang dan Jenandra memang memberikannya, tapi buruk juga jika hanya bergantung padanya padahal mereka belum tentu akan bersama selamanya, bertambah Jenandra telah menikah yang tentunya Haesa akan menikah nantinya.

Haesa bekerja di sebuah restoran menjadi pelayan, hari ini dia akan bekerja dengan giat dan mendapat upah "harimu sangat panjang dan ayo semangat." Tangan akanannya terkepal ke atas menunjukkan kesemangatan darinya.

Hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk Haesa sampai pada tempat kerjanya, setelah sampai pada restoran segera dia mengganti dengan seragam pelayan.

"Kau datang lebih pagi, ada apa?" Renjana, kalian masih mengingatnya percakapan dirinya dengan Nava yang menyebut nama Renjana, dia kekasih Nava.

"Apa yang aku lakukan di apartemen sendiri, mungkin jika ada Jenandra aku tidak akan rajin seperti ini." Ujar Haesa, "dan aku ingin meminta maaf."

"Untuk?"

"Aku sedikit menggoda Nava tapi tenang aku tidak menyukainya, dan dia juga menciumku."

"Aku tau, Nava sendiri yang mengatakannya padaku, tidak masalah bagiku itu masih diwajarkan."

Haesa berdecak kagum "sebenarnya kau mencintainya atau tidak?" Aneh jika seseorang biasa saja ketika kekasihnya mencium orang lain.

Renjana tersenyum pedih "aku tidak tahan lagi." Lirihnya, kepalanya menunduk menatap lantai ruang ganti, "aku ingin bertahan tapi perkataannya membuat diriku seperti sampah."

Haesa membawa Renjana pada pelukannya, mengelus punggungnya dengan perlahan, dia tau permasalahan apa yang di hadapi oleh sahabatnya ini "kau masih tidak memberitahu perlakuan orang tua Nava padanya?"

Tangisan lirih yang Renjana coba tahan terdengar "bagaimana bisa aku mengatakannya pada Nava, aku tidak bisa membuat hubungan seorang anak dan orang tuanya hancur hanya karena diriku, orang tua itu penting Haesa, aku tidak bisa, a-aku tidak masalah jika Nava bersama dirimu."

"Sialan." Kesal Haesa, "omong kosong apa yang kau bicarakan itu, aku sama seperti dirimu, aku miskin dan orang tua Nava mengejek dirimu karena hal itu juga dan kau mengatakan tidak masalah jika aku bersama Nava, kau menjadikanku umpan terlezat bagi mereka." Gerutunya, menghela nafasnya untuk menenangkan dirinya, "kau harus mengatakannya pada Nava tidak peduli jika hubungan dia dengan orang tuanya hancur, mereka menilaimu hanya karena materi itu tidak bisa diterima."

Renjana melepas pelukannya "orang tua Nava menawarkan 10 juta tetapi aku harus menjauhinya, katamu aku harus menerimanya atau tidak?"

"Tidak, Nava bisa memberikanmu lebih."

"Jika orang tua Nava menaikkan hingga 25 milyar bagaimana?"

"Kau harus mau."

Renjana mendengus "kau itu tetap saja mementingkan uang." Ketusnya.

"Hidup membutuhkan uang Renjanaku sayang."

"Sudahlah, kita harus bekerja."

"Tapi ingat pesanku tadi, kau harus mengatakannya pada Nava, aku lihat dia sangat mencintaimu, kesempatan itu jangan kau buang, jika kau bisa menikah dengannya kau akan menjadi nyonya Nava."

Renjana membekap mulut Haesa "kau banyak bicara, lebih baik urus saja masalahmu, kekasihmu telah menikah ngomong-ngomong." Ejeknya, "masalah siapa yang paling berat? Kau atau aku?" Lanjutnya

Haesa mendengus kesal "sialan." Gerutunya.

Mereka menghentikan percakapan dan melakukan pekerjaan, melayani pelanggan dengan senang hati, mereka berdua adalah pelayan andalan pemilik restoran, semenjak mereka bekerja banyak pengunjung yang datang, mereka seperti magnet untuk pengunjung.

My Friend Is My Lover  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang