16

125 12 0
                                    


Jenandra pulang dengan mulut yang bersiul-siul, hatinya tengah senang, dengan melakukan kendaraannnya dia akhirnya tiba di rumah yang besar walaupun rumah itu tidak sebesar yang ia berikan pada Haesa.

Jenandra melangkah masuk ke dalam, di sambut pelukan istrinya, Jenandra membalas pelukan itu dan mengelus perut sang istri "apa dia baik-baik saja?"

"Tentu saja, pengganggunya telah kau siksa."

"Kau melihatnya sayang bagaimana aku yang menyiksanya?"

"Ya, bukankah aku telah mengatakannya padamu, banyak orang yang mengawasi dirimu."

Jenandra terkekeh "aku terdengar seperti seorang tahanan, ayo masuk aku lelah sekali."

"Ayo, oh ya Jenan, ayah ingin berbicara padamu."

"Tunggu besok saja, sepertinya penting."
.
.
.
Sedangkan Haesa saat ini masih terlentang menatap langit-langit kamar, meratapi nasibnya yang begitu malang.

Dengan tertatih-tatih Haesa mencoba pergi ke kamar mandi, melepas segala macam yang menempel pada tubuhnya, dia menatap pantulan dirinya yang begitu menyedihkan pada kaca, banya bekas cambukan dan rambutnya yang berantakan.

Haesa tertunduk, mencengkram rambutnya sendiri dengan kuat dan berteriak lantang "AAAAARGH." Setelah di rasa tenang, barulah Haesa membersihkan tubuhnya, mengenakan pakaian yang Jenandra sediakan, yah setidaknya dia begitu baik karena masih memikirkan pakaiannya.

Haesa keluar dari gedung hotel dengan jalan yang pincang, Jenandra itu kejam, tidak hanya mencambuk punggung pada kakinya juga terdapat cambukan "sial." Rutuknya.

Dia berjalan di trotoar pejalan kaki di tengah kegelapan, persetan dengan hantu baginya sekarang tidak ada yang menakutkan kecuali bertemu dengan Jenandra.

Bruk!

Langkah Haesa berhenti seketika, tubuhnya membeku bak patung, dia menjilat bibirnya, ketakutan menyerang dirinya "baiklah, aku tarik kata-kataku tadi, hantu itu menyeramkan."

Mata Haesa membola saat melihat daun-daun bergerak, dia ingin berlari namun tubuhnya seolah di paku "sial, di saat seperti ini kenapa kau tidak bisa di ajak kerja sama." Kesalnya pada dirinya sendiri.

Tubuh Haesa berkeringat dingin saat melihat daun-daun itu bergerak bertambah cepat, mungkin Haesa akan pingsan saat itu juga jika tidak melihat apa yang keluar dari semak-semak itu.

"Astaga aku pikir hantu." Leganya, dia menyentuh dadanya sendiri yang jantungnya berdetak cepat.

Yang keluar dari semak-semak itu adalah manusia sama seperti Haesa, keadaannya berantakan dan pakaian yang lusuh, Haesa tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena tertutup oleh topi.

Haesa merendahkan tubuhnya dan membantu orang itu untuk duduk dan Haesa kembali membulatkan matanya setelah melihat wajah orang itu "kenapa seperti ini?" Sungutnya, "aku memintamu untuk tetap berada di Chicago kenapa datang ke sini!!" Kesalnya.

"Aku mengkhawatirkan dirimu baby, dan untuk kenapa aku seperti ini, kau lupa aku seor–"

"Oke cukup jangan dilanjutkan, ayo pergi."
.
.
.
Dua bulan penuh Jenandra tidak menemui Haesa, dia tengah sibuk dengan pekerjaan barunya. Beri dia tepuk tangan karena gelar barunya, seorang CEO pada perusahaan milik ayah Alesya.

Katanya ini sebagai hadiah dirinya menjadi menantu idaman, menjaga istrinya dengan baik, Jenandra terkekeh pelan, dia kembali menorehkan tanda tangan pada kertas yang berada di depannya.

Ketukan pada pintu membuat Jenandra menghentikan kegiatannya, menunggu seseorang yang hadir "masuk." Ujarnya setelah beberapa menit.

Orang itu membuka pintu lalu menutupnya dengan kasar "lama sekali hanya mengatakan masuk sialan."

Jenandra menatap pintu ruangannya dengan prihatin, pintunya terbuat dari kaca "Hati-hati saat menutup pintu, sepertinya itu akan menjadi kata-kata penyambut nantinya."

Orang itu duduk di depan Jenandra dengan tidak sopan "jadi ada apa? Kenapa kau memanggilku lagi." Ketusnya.

"Marka, aku membayarmu tidak untuk ini."

Kalian tidak salah membaca, orang itu adalah Marka bisa dibilang dia teman dekat Jenandra tanpa diketahui oleh Haesa.

Marka bedecak "lalu apa? Waktu itu aku telah melakukan tugasku, menyapa Haesa dan seolah tidak mengenalmu, aku juga mendekati istrimu lalu sekarang tugas apalagi yang akan kau berikan Jenandra!!" Geramnya, "jika bukan karena uang aku tidak sudi mendekati istri manjamu itu sialan, eww dia seolah haus laki-laki."

Jenandra terkekeh "baguslah, teruslah dekati istriku Marka karena aku tidak membutuhkannya, terus ajak dia untuk mau berpisah denganku maka perusahaan ini akan menjadi milikku seutuhnya."

"Mengingat soal ini, bagaimana dengan para bawahan yang Alesya perintah untuk selalu mengawasi dirimu?"

"Aku telah bebas dan setelah ini aku akan menemui Haesaku sayang." Ceria Jenandra.

"Aku harap ini berjalan dengan sesuai rencana." Ujar Marka.

"Aku harap juga begitu, sulit rasanya menahan perasaan ingin menyetubuhi Haesa, padahal dulu hampir setiap hari tapi sekarang tidak pernah."

Marka mendengus keras, melirik ke arah ponselnya yang layarnya tengah menyala "aku pergi dulu, istrimu memintaku untuk berjalan-jalan."

"Nikmati waktumu bersama jalang itu Marka, lakukan apapun tapi tidak melukai bayiku, aku membutuhkan bayi itu bukan orang yang mengandungnya."

"Ya, setidaknya aku memiliki jalang pribadi, dalam beberapa jam kedepan kau akan mendapat notif secara pribadi dari orang yang akan menyetubuhi istrimu."

"Aku menunggu itu."

Jenandra beranjak dari duduknya, dia melihat jam yang tertempel di dinding, ternyata dia hampir menghabiskan waktu satu hari di perusahaan.

Membuka dua kancing kemejanya dan menyampirkan jasnya pada bahunya, Jenandra melangkah keluar dari ruangan, masuk ke dalam mobil dan mengendarai mobilnya di kecepatan rata-rata.

Jenandra tak pulang melainkan dia pergi ke apartemen Haesa, dia masuk ke dalamnya namun terkejut saat bukan Haesa yang berada di sana melainkan Renjana dan Nava.

Jenandra menggeram, tidak seorangpun yang bisa masuk ke dalam apartemen "kenapa kalian berada di sini?!"

Renjana menunjuk ke arah Jenandra "gara-gara dirimu Haesa pergi!! Sekarang kau pergi dari apartemen Haesa, pergi sialan!!" Pekik Renjana.

"Pergi? Jangan berbicara omong kosong." Jenandra berlalu pergi ke kamar Haesa, tidak seorangpun di sana, membuka pintu kamar mandi namun tidak ada seorangpun di sana, "tidak, ini di luar rencana."

Jenandra kembali dan duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah langit-langit ruangan.

Bugh!

"Itu untuk tamparan yang kau berikan pada Haesa, kau pergi dari sini, tidak tau malu menampakkan diri setelah mengatakan hal buruk pada Haesa." Marah Nava, dia yang memukul wajah Jenandra sebelumnya. .

Jenandra hanya terdiam "aku tidak bersalah."

Renjana melototkan matanya mendengar ujaran Jenandra.

Plak!

"Tidak bersalah katamu? Sejak awal kau bersalah, kau bersalah karena menikah dengan Alesya, semua ini karena dirimu, jika kau tidak menikah Haesa akan tetap berada di sini, kau aissh aku tidak mengerti kemana urat malu mu itu, kau telah memutuskan hubungan dan kau berani datang ke sini? Hei!! Aku ingin memotong tubuhnya itu." Gerutu Renjana.

"Potong saja, aku mendukungnya sayang."

"Aku menikah karena Haesa yang meminta." Lirih Jenandra.

Renjana kembali duduk dan bersandar pada sofa "sebenarnya aku curiga dengan semua ini, apa yang sebenarnya terjadi dengan pernikahan dan tujuan kalian? Haesa tidak ada dan kau tidak tau?"

"Haesa pergi ini di luar rencana, dia tidak mengatakan adanya kepergian dirinya, padahal sedikit lagi aku menjadi pemilik perusahaan itu." Lirih Jenandra lagi, dia merasa dunianya hampa, jika saja hilangnya Haesa termasuk ke dalam rencana, mungkin dia tidak akan seperti ini, tapi ini berbeda, "sejak kapan Haesa menghilang?"

"Satu bulan." Jawab Nava.

My Friend Is My Lover  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang