7

152 14 0
                                    


Haesa tak menampiknya jika dia lega mendengar penuturan Jenandra, setidaknya dia mendapatkan sebuah kepastian jika Jenandra akan selalu bersamanya dan meninggalkan istrinya, biarkan orang lain tau jika dirinya salah, tapi pada sudut pandang mereka, mereka berdua tidak salah terutama Haesa, dia korban dari pernikahan yang tidak disukai oleh Jenandra "Jenandra, aku tidak bisa memegang apapun kecuali janjimu, tapi jika suatu saat kau mengingkari janji itu, aku pastikan jika kau tidak akan bertemu denganku lagi."

Jenandra mengangguk "tentu, segera aku akan mencari cara untuk bisa berpisah dengan Alesya."

"Ayo tidur."

Mereka terlelap dalam tidur tapi untuk Jenandra dia berpura-pura tidur, kelopak matanya kembali terbuka saat Haesa benar-benar tertidur, menatap sendu ke arah sang kekasih "aku meminta maaf padamu." Ujarnya lirih, "aku melakukannya pada Alesya." Kecerobohannya malam itu tak bisa ia pikirkan jalan keluarnya, memberikan minum yang ia campurkan obat tidur berujung dia memasukkan obat perangsang pada minuman itu, salahnya yang tidak membaca terlebih dahulu, tapi yang paling ia sesali adalah dia yang meminum itu bukan Alesya.

Jenandra tidak tau berasal dari mana obat perangsang itu, dia merasa tidak pernah menyimpannya, terbesit beberapa orang sebagai dalang di balik ini, siapa lagi jika bukan Alesya atau orang tuanya.

Jenandra mengelus pipi lembut Haesa "bisa aku egois? Ji-jika benih pada Alesya berkembang, bisakah aku tetap bersamanya hingga anak itu lahir? Dan selama itu juga aku tidak ingin melepaskanmu, aku tidak ingin kau bersama yang lain terutama perkataanmu tadi yang ingin pergi, tolong maafkan aku yang bodoh ini." Untuk kesekian kalinya Jenandra menangis untuk Haesa, tidak ada yang pernah melihat dirinya menangis saat umur mulai beranjak dewasa, hanya pada Haesa melakukannya.

Lama menangis hingga Jenandra benar-benar tertidur, memeluk Haesa erat ke dalam dekapannya. Dia sedang lelah dengan apa yang terjadi, tapi ini semua berasal dari kecerobohannya, hati Jenandra sakit saat mengingat Haesa yang menderita di sini, karena dirinya, karena pernikahan dan karena orang tuanya, tapi Jenandra tidak bisa melepaskannya, baginya dia adalah sebuah pelangi yang indah, membuatnya merasa hidup kembali.

Tapi di satu sisi Jenandra tidak bisa menampik jika dia membutuhkan seorang anak yang akan menemani mereka nantinya, dia ingat dengan benar jika Haesa adalah seorang laki-laki yang tidak bisa mengandung, sedikitnya dia tidak menyesal  melakukannya dan berharap benih yang ia masukkan pada rahim Alesya tumbuh tanpa perlu ia melakukan persetubuhan kembali.
.
.
.
Pagi datang dengan matahari yang belum terbit dengan sempurna, Haesa telah terbangun dengan mata yang membengkak. Dia menguap lebar dan menatap ke arah samping di mana Jenandra masih terlelap dalam tidur.

Bangun dari tidurnya, Haesa masuk ke dalam kamar mandi, dia membersihkan wajahnya, setelah selesai dirinya keluar dari kamar mandi.

Melirik ke arah nakas di mana ponsel Jenandra selalu berdenting, melangkah mendekat dan melihat layar ponsel Jenandra yang hidup menunjukkan notifikasi "Alesya." Gumamnya.

Haesa meraih ponsel itu, membuka dengan sandi yang ia ketahui, masih tetap sama, Jenandra menggunakan tanggal mereka bertemu, hati Haesa berdenyut sakit, jantungnya seperti berdentum dengan keras.

Haesa kembali meletakkan ponsel Jenandra pada nakas, tersenyum getir mengingat pesan Alesya "memang benar jika Tuhan ingin mempertahankan hubungan yang sah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haesa kembali meletakkan ponsel Jenandra pada nakas, tersenyum getir mengingat pesan Alesya "memang benar jika Tuhan ingin mempertahankan hubungan yang sah." Lirihnya.

Haesa keluar dari kamar, dia tidak ingin Jenandra tau jika dirinya mengetahui apa yang Jenandra lakukan, dia akan diam selayaknya air, menuntun takdir menunjukkan ke arah mana dia seharusnya.

Haesa berkutat dengan masakannya, dia berusaha tidak mengerjapkan matanya agar air mata yang hendak keluar bisa ia tahan, jika dirinya menangis apa gak dirinya? Di sini dirinya yang salah, dirinya seperti perusak hubungan orang lain.

"Hai sayang." Tubuh Haesa membeku merasakan pelukan orang lain, dia berkata dalam hati semoga saja Jenandra tidak tau jika dirinya ingin menangis.

"Duduklah Jenan, aku akan memasak sarapan dulu, sebentar lagi kau harus pulang." Tangan lentiknya dengan lihai memasak, menuangkan bumbu dapur yang telah ia ketahui takarannya.

Jenandra menghirup leher Haesa, dia menggeleng pelan, terus memeluk tubuh Haesa yang sangat ramping "rumahku di sini." Gumamnya.

"Kau memiliki dua rumah, satu dengan Alesya dan satu rumah orang tuamu, di sini hanya rumah singgah untukmu."

Gigi Jenandra bergemeletuk tangannya tanpa sadar meremas perut Haesa "jangan menyebut orang lain saat kita sedang berdua." Geramnya.

"Aargh Jenan lepas." Haesa memukul tangan Jenandra yang sangat keras, cengkraman Jenandra sangat kuat hingga membuat perutnya nyeri.

Jenandra tersadar jika dirinya menyakiti Haesa, melepas cengkramannya kemudia dia berlutut, menyingkap kaos milik Haesa dan melihat ruam kemerahan karena perbuatannya "maafkan aku." Sesalnya, dengan lembut dirinya mengecup perut Haesa.

"Jenan sudah cukup, aku akan menyesuaikan acara memasak ini, lalu kau bisa pergi bekerja, apa hari ini kau tidak memiliki kesibukan?" Mustahil seorang arti tidak memiliki kesibukan terutama Jenandra yang masih naik daun.

"Aku punya, aku harus syuting film."

"Jika begitu kau duduk, aku akan menyiapkan sarapan." Ujar Haesa yang dituruti oleh Jenandra.

Haesa meletakkan hidangan di atas meja makan, melayani Jenandra untuk meletakkan nasi dan lauk pada piring Jenandra "kau sudah cocok."

"Cocok apa?"

"Menjadi seorang istri." Ujar Jenandra.

"Kau benar, aku hanya perlu menunggu seseorang mau menikahi aku dan aku berjanji akan melayaninya dengan baik." Balas Haesa.

"Aku yang akan menikahimu Haesa!" Tegas Jenandra, "tidak seorangpun yang bisa memiliki hubungan denganmu apalagi menikahimu, hanya aku yang berhak atas dirimu!"

"Tidak ada yang berhak atas diriku Jenandra bertambah dirimu telah menikah, sudah aku katakan tadi malam untuk mempertahankan pernikahanmu dengan Alesya, itu tidak ada ruginya." Haesa meletakkan semua hidangan yang ia buat di atas meja.

Jenandra menggeram kesal "Haesa, berhenti mengatakan tentang hal ini terus menerus, aku muak."

"Aku juga muak, setiap hari aku selalu mendengar beritahu dengan Alesya, kalian pasangan yang serasi dan cocok, apa kau pikir aku tidak cemburu?!" Intonasi Haesa berubah tinggi, "aku cemburu Jenandra, kau memeluk Alesya di muka umum, kenapa aku tidak? Aku ingin menunjukkan jika aku juga kekasihmu, aku hanya bisa memelukmu di apartemen di mana tidak semua orang tau, yang mereka tau hanya Alesya, Alesya dan Alesya." Gerutunya.

"Hae–"

Haesa mengangkat jari telunjuknya meminta Jenandra untuk berhenti berbicara "aku belum selesai, kau pikir aku merasa biasa saja dengan pernikahanmu karena aku terlihat tetap tersenyum dan bertingkah konyol? Tidak, aku merasakan cemburu yang sangat besar, iri pada Alesya, kenapa dia yang baru saja bertemu langsung mendapat pelukanmu di muka umum, sedangkan aku? Aku yang menemani dirimu dari nol, mereka hanya tau aku temanmu, hahaha ya aku hanya temanmu."

Brak!

Haesa menepuk dengan keras meja makan tersebut dan menatap tajam ke arah Jenandra "sekarang, aku akan mendengarkan kata Renjana, aku lebih baik mundur dan tidak merusak sebuah pernikahan yang suci, biarkan aku mengalah."

My Friend Is My Lover  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang