11

115 15 0
                                    


"Ibu, apakah Jenandra tidak pulang?" Alesya sengaja datang ke rumah orang tua Jenandra, telah dua hari suaminya itu tidak kunjung pulang, menghubungi tapi tidak ada jawaban.

"Jenandra lama tidak pernah mengunjungi orang tua semenjak kalian menikah, ibu pikir di sangat betah di bersamamu."

"Ibu, perlakuan Jenandra tidak sebaik itu, dia berlaku kasar, sebenarnya aku datang ke sini bukan hanya untuk mencari Jenandra, tapi untuk mengingatkan ibu, selama ini kita merahasiakan jika aku memberi uang pada ibu dan ayah, tapi aku juga lelah dengan sifat Jenandra yang kasar dan tidak menganggapku, sebagai mertua aku sekarang mengadu sebagai menantu yang disakiti oleh anakmu, buat Jenandra memperlakukanku dengan baik."

"Ibu tidak berjanji tapi ibu akan berusaha."

Alesya terkekeh kecil "ibu bisa memaksa Jenandra menikah denganku kenapa hal ini ibu tidak bisa? Aku benar-benar menunggu perubahan Jenandra ibu."
.
.
.
"Astaga rasanya aku tidak ingin kembali dan terus tinggal di sana." Ujar Haesa, dia dan Jenandra telah kembali setelah dua hari menghabiskan waktu di rumah yang bagi Haesa adalah istana.

"Kita bisa tinggal di sana jika kau mau."

"Tidak tidak, bagaimana dengan pekerjaanku, aku sudah mencintai pekerjaanku." Tolak Haesa, "jika aku ingin nanti aku akan ke sana."

"Lakukan sesukamu karena itu adalah milikmu."

"Apa yang milik Haesa?" Mereka berdua menoleh mendapati Alesya yang tengah berdiri menatap mereka dengan selidik, untung saja dia hanya mendengar bagian milik Haesa, tidak sepenuhnya.

"Oh Alesya, lihat suamimu ini datang di pagi buta dan mengajakku berjalan-jalan, apa kalian sedang bertengkar?" Tanya Haesa, dia membuat kebohongan sedikit.

"O-oh ya, kami selisih paham tapi aku akan mengajak Jenandra untuk kembali." Gugup Alesya, tidak seorangpun bisa tau bagaimana kondisi pernikahan dirinya bersama Jenandra, dia harus bisa menahannya di publik, mengatakan hal manis agar Jenandra tidak berlaku kasar.

Haesa mengangguk mengerti, mendorong tubuh Jenandra dengan lembut "kembalilah jika tidak ingin istrimu curiga." Bisiknya, Haesa menunjukkan senyumannya agar Alesya tidak curiga, "aku menasehati Jenandra agar tidak selalu pergi dari rumah." Bohongnya lagi, setelah ini dia akan berdo'a pada Tuhan dan meminta pengampunan telah mengatakan kebohongan berkali-kali.

Alesya tersenyum lalu dia mengangguk "aku akan pergi makan ke bersama Jenandra ke cafe depan, kau mau ikut?" Tawarnya.

Haesa hendak menolak tapi Jenandra menyahuti perkataan Alesya "tentu dia akan ikut." Haesa menghela nafasnya, dia pasrah mengikuti mereka berdua di belakang, oh bagaimana jika kalian menjadi Haesa saat kekasih kalian sedang berpegangan tangan dengan istrinya, apakah dia harus cemburu atau sebaliknya?.

Haesa tertawa miris, tangannya terkepal di belakang tubuh, seharusnya dia yang berada di posisi Alesya, bercengkrama manis di depan publik tanpa takut ketahuan.

Mereka memasuki cafe dan mencari tempat duduk kosong, mereka mendapatkan kursi yang berada di pojok, Haesa duduk di hadapan mereka berdua.

"Jenandra, kau mau pulang bukan?"

"Ya."

Alesya tersemyum kaku, perasaannya malu saat Jenandra hanya menanggapinya biasa saja, dia mendekat ke arah Jenandra lalu berbisik "tolong romantislah, banyak pasang mata di sini, bagaimana jika mereka semua tau."

Jenandra mengangguk "kau ingin makan apa?" Suaranya melembut ke arah Alesya secara terpaksa.

"Aku bibimbap saja."

Jenandra mengangguk "kau?" Tanya Jenandra dengan biasa.

"Aku ikut saja." Tidak ada makanan yang terpikirkan oleh Haesa, yang berada di otaknya adalah dia harus mendorong Alesya dan berteriak padanya jika dia harus menjauhi kekasihnya, jika itu terjadi maka banyak berita akan memberikan judul seorang kekasih meminta istri sahnya untuk ngejauh dari suami sahnya, bodoh.

Haesa memutar kedua matanya dengan malas, melihat pemandangan di depannya yang sungguh memuakkan, Jenandra memang aktor hebat hingga meyakinkan banyak orang, tak sekali dia mendengar perkataan orang bagaimana kedua orang yang duduk di depannya ini sangat romantis, tidak tau saja jika laki-laki yang sebagai suami telah bermain kotor dengan temannya sendiri sekaligus kekasih.

Tanpa sadar Haesa tertawa pelan hingga atensi Alesya dan Jenandra berganti pada Haesa "ada apa denganmu Haesa? Apa ada yang lucu?" Tanya Alesya dengan bingung.

"Ada, aku hanya menertawai hidupku saja, aku iri dengan keromantisan yang kalian tebar itu, bisakah aku mendapat kekasih seperti Jenandra juga?"

"Jenandra hanya ada satu kau tau, jadi kau harus mencari yang lain."

"Ya ya, aku tau jika Jenandra hanya satu, jika aku menginginkan seperti Jenandra tentu itu adalah Jenandra sendiri bukan?"

Tubuh Alesya menegang "ma-maksudmu?"

Haesa tertawa terbahak-bahak, dia memegang perutnya, lucu sekali saat melihat ekspresi Alesya yang gugup bercampur marah "aku hanya bercanda Alesya, mana mungkin aku bersama sahabatku sendiri."

Alesya bernafas lega "aku pikir kau menyukai Jenandra."

Haesa menggeleng, pandangannya ke arah Jenandra yang juga menataonya "aku tidak akan menyukainya, dia pria yang kasar, tidak romantis." Bagaimana bisa ia melontarkan kata-kata bohong itu, Jenandra adalah orang yang sangat romantis dan bonusnya dia juga mesum, "dan aku terkejut bagaimana bisa dia berlaku romantis padamu, tapi aku ingat jika kau adalah istrinya, beruntung kau memilikinya Alesya."

"Ya aku beruntung memilikinya."

Pesanan datang, mereka memilih menikmati hidangan itu, sesekali Haesa bersedih saat Alesya berbisik pada Jenandra lalu Jenandra menyuapinya, ingin rasanya dia mencabik-cabik wajah yang banyak orang bilang cantik itu.

"Haesa?"

Haesa tersedak makanan yang berada di dalam mulutnya itu, melihat orang yang memanggilnya "Ma-marka." Suasana berubah canggung, Haesa melirik ke arah Jenandra yang menatap bingung ke arah Marka.

"Long time no see you Haesa, kau semakin cantik saja, how are you?"

Haesa menelan ludahnya dengan kasar, sial kenapa orang itu datang di waktu yang tidak tepat, lihat saja bagaimana perubahan wajah Jenandra yang kini menatap tajam ke arah Marka "a-aku baik." Gugupnya.

"Ou, your English is better, I mean sebelumnya kau tidak tau bahasa Inggris sedikitpun."

Tidak bisakah Marka melihat situasi, ingin rasanya Haesa menenggelamkan tubuhnya pada lautan "hanya itu bahasa Inggris yang aku paham." Apa Marka pikir dia tidak mengerti bahasa Inggris dasar seperti itu, itu terdengar seperti mengolok-olok dirinya.

Dengan lancangnya Marka duduk pada kursi yang kosong tepat di sebelah Haesa "wow, aku benar-benar takjub melihat perubahanmu, aku bahkan meyakinkan diriku sendiri apakah tadi itu dirimu atau bukan." Jelasnya, Marka meraih tangan kiri Haesa dan mengelus punggung tangannya.

Nafas Haesa tercekat, Marka memang tidak tau situasi "lepas Marka." Bisiknya, dia merasakan aura mencekam yang dikeluarkan oleh Jenandra.

"Oh maaf." Marka langsungelepas genggamannya, dia mengernyit saat tak mengenal dua orang yang tidak dia kenal, "dia siapa Haesa?"

"Dia Jenandra temanku dan dia istrinya."

Senyum Marka terkembang mendengar jika laki-laki tersebut telah menikah, bukannya dia tidak sadar sejak tadi laki-laki itu menatap dirinya tajam, dia mengulurman tangannya untuk bersalaman di mana Jenandra menyambut uluran tangan tersebut.

"Marka."

"Jenandra."

Marka meringis saat merasakan cengkraman pada tangannya, sial sekali tangannya terasa remuk, namun dia mencoba tenang dan menggerakkan tangannya meminta untuk di lepas.

Haesa sadar apa yang Jenandra lakukan, itu kenapa dia meringis pelan melihat merahnya tangan Marka "aku ingin cepat pulang." Gumamnya.

My Friend Is My Lover  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang