12

116 9 0
                                    


"Oh Marka terimakasih, padahal apartemenku hanya di depan cafe dan kau mengantarku."

"Tidak masalah, aku harap kita terus bertemu."

Haesa masuk ke dalam gedung apartemennya, dia tidak akan menunjukkan nomor berapa pada Marka, cukup gedungnya saja. Dia bersenandung dalam langkahnya, tidak ada Jenandra karena dia pulang ke rumah istrinya.

Haesa membuka sepatunya sebelum dirinya membuka pintu apartemen, lalu dia meletakkan sepatunya pada rak dan melenggang pergi.

Tidak ada pekerjaan yang akan Haesa lakukan, dia lebih memilih untuk berbaring pada kasur dan tidur. Dia akan memanfaatkan waktu agar tubuhnya kembali tenang, tidak ada otot yang tegang saat besok akan kembali bekerja.
.
.
.
Sinar mentari telah muncul, bunyi kicauan burung menambah kesan nyaman untuk berbaring pada kasur. Bunyi dering alarm membangunkan Haesa yang saat ini tengah menguap, tangannya tengah berusaha untuk mematikan alarm yang berbunyi.

Dia mengerjapkan matanya beberapa kali, menatap langit-langit kamarnya beberapa saat sebelum dia beranjak dari tidur, berjalan sempoyongan ke dalam kamar mandi, dia akan membersihkan tubuhnya.

Haesa telah siap menggunakan kaos hitam dengan celana jeans biru, tungkainya ia bawa ke arah meja makan, meraih roti dan mengolesinya dengan selai coklat, dia terlalu malas untuk masak dan makan makanan yang berat.

Setelah sarapan selesai barulah Haesa pergi dari apartemen, bibirnya bergerak mengalunkan sebuah lagu, menekan tombol lift untuk membawa dirinya ke lantai dasar.

Saat berada di loby dia terkejut saat melihat Marka yang sedang berdiri di samping mobil dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam kantong celananya "tampan." Kata itulah yang keluar secara tiba-tiba saat mengagumi pesona seorang Marka, dia menggeleng pelan, "Jenandra lebih tampan."

"Haesa!!" Niat Haesa akan berjalan pelan bersembunyi agar Marka tidak melihatnya, tapi sayang Marka telah terlebih dahulu melihatnya.

Dia melihat Marka yang berjalan mendekat dan meraih tangannya, menarik dirinya untuk mengikutinya "ayo pergi, temani aku selama aku berada di Korea."

Haesa melepas genggaman itu "maaf, aku harus bekerja Marka, aku sungguh tidak bisa jika sekarang, tapi mungkin nanti malam? Tapi aku juga tidak bisa berjanji."

Marka mengangguk paham "jika begitu aku akan mengantar dirimu, ayo."

Dengan berat hati Haesa ikut dengan Marka, dia duduk pada kursi mobil dan memasang seatbelt. Mobilnya meninggalkan basement menyisakan seseorang yang sejak tadi menatap tajam ke arah mobil itu "awas kau Marka" Geramnya, dia Jenandra yang berniat untuk menemui Haesa tapi Marka lebih dulu datang, "sialan, benar-benar banyak lalat."

Haesa tiba di cafe, dia membuka pintunya "Marka, terimakasih telah mengantarku."

Marka mengangguk "jika kau pulang, hubungi aku."

"Ya, aku akan menghubungimu jika aku bersedia menemanimu berjalan-jalan."

"Jika begitu aku pergi dulu Haesa."

"Ya Marka, selamat tinggal." Dia melambaikan tangannya pada Marka hingga mobil yang dikendarai oleh Marka tak lagi terlihat.

Haesa masuk ke dalam cafe, dia di sambut dengan tatapan curiga dari Renjana "jadi, apakah saranku kau lakukan?"

"Sama sekali tidak, aku melakukannya karena tidak bisa menolak permintaan Marka." Jawabnya.

"Aku pikir kau memiliki hubungan dengan Marka."

"Tidak Renjana, berhenti untuk berpikir hal itu, sepertinya aku tidak akan mendengarkan saranmu waktu itu, saranmu membuatku hampir malu di publik."

Renjana menatap horor ke arah Haesa "apa yang dia lakukan padamu?"

"Dia memaksaku telanjang di dalam mobil dan melakukan sex di dalam mobil, bayangkan bagaimana jika orang tau terdapat mobil bergerak, dia gila melakukannya di taman, aku berusaha meredam desahanku." Gerutunya, "tapi setelahnya aku mendapatkan hadiah yang sangat besar." Lanjutnya, mengingat rumah itu membuat dirinya tersenyum lebar.

"Hadiah apa yang dia berikan padamu?"

"Sebuah istana."

"Istana pasir?" Ejek Renjana.

"Yak!! Jika hanya begitu aku tidak akan tersenyum selebar ini bodoh, ini istana sungguhan, berada di tengah hutan dengan halaman yang luas, rumah megah dengan interior yang mewah." Jelas Haesa.

"Baguslah, setidaknya dia membayar mahal atas tubuhmu, dia tidak bisa memberikan pengakuan pada publik, setidaknya dia memberikan uang padamu."

"Sebenarnya tubuhku lebih mahal dari pada istana itu."

"Tapi kau memberikannya secara gratis pada orang itu."

"Karena aku mencintainya."

"Ya ya ya, sekarang kau cepatlah ganti pakaian, kita harus bekerja, dua hari tidak ada dirimu membuatku kelelahan walaupun bos memberikan gaji dua kali lipat padaku." Renjana membersihkan meja cafe, setiap pagi inilah yang mereka lakukan, membersihkan cafe lalu menyiapkan makanan cepat saji, "aku penasaran, apa yang kau lakukan bersama dia selama dua hari?"

"Aku membuka pahaku lebar-lebar dengan berbaring, menatapnya mendamba dan mendesahkan namanya, itu yang aku lakukan selama dua hari." Ujar Haesa dengan tenang.

Renjana melempar kain yang sebelumnya ia buat untuk membersihkan meja "sialan, aku pikir kegiatannya bermanfaat."

Haesa menangkap lap yang di lemparkan oleh Renjana "itu kegiatan yang bermanfaat agar cinta kita semakin tumbuh."

"Pantas saja kau bertambah bodoh, ternyata setiap hari kau di beri siraman sperma." Ujarnya dengan santai.

"Aku merasa setelah aku di siram oleh sperma membuatku bertambah pintar." Elak Haesa atas pernyataan Renjana.

"Haesa, ada kiriman untukmu." Seorang pekerja lain datang membawa buket bunga, pekerja itu hanya hanya sekedar kenal dengan Haesa dan Renjana.

"Kiriman? Dari siapa?"

"Aku tidak tau." Orang itu meletakkan buket bunga di atas meja kasir di mana Haesa tengah berdiri.

Renjana mendekat ke arah Haesa, menghirup harum yang menguar dari bunga tersebut, Haesa mendengus dan mendorong dahi Renjana agar berhenti melakukannya "aku yang diberikan bunga ini belum menghirup harumnya, dan kau tiba-tiba melakukannya tanpa ijin." Kesalnya.

"Aku hanya menghirupnya bukan memakannya." Renjana melihat sebuah surat yang terletak pada tengah-tengah bunga tersebut, "lihatlah, terdapat surat."

"Aku tau Renjana, apa kau pikir aku buta?" Haesa memutar kedua matanya dengan malas, apa-apaan Renjana itu, mengatakan tentang adanya surat padahal letak surat berada paling atas dan terlihat oleh mata dengan mudah.

"Aku tidak mengatakannya sialan." Kesal Renjana.

Haesa meraih surat tersebut lalu membacanya, hanya sebuah kalimat pernyataan cinta yang biasa orang katakan 'aku menyukaimu' hanya kata itu yang berada di dalamnya, tidak ada nama pengirimnya "apa aku akan mati sebentar lagi?" Gumamnya yang di dengar oleh Renjana, dengan spontan Renjana memukuk kepala bagian belakang Haesa.

"Berhenti menonton film pembunuhan, semakin lama otakmu menyeramkan."

"Aku hanya waspada, di film ketika kau mendapatkan bunga, kau akan mati, apalagi ini tidak ada nama pengirimnya." Gerundel Haesa.

"Tidak mungkin, ini hanya bunga untuk menyatakan perasaan, lebih baik kau buang saja jika kau takut." Saran Renjana.

"Bunga ini mahal, aku bawa pulang saja."

"Bukankah kau tadi takut akan pembunuhan? Lalu sekarang kau akan membawa pulang bunga itu? Sepertinya otakmu hanya bisa berpikir tentang hubungan badan." Tukas Renjana, dia tidak habis pikir dengan perubahan pikiran Haesa yang sangat cepat itu, semula takut akan pengiriman bunga yang akan berujung pada kematian, tapi dia juga akan membawa pulang bunga tersebut, "sial, kenapa aku memiliki teman seperti dirimu." Keluhnya.

My Friend Is My Lover  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang