Rafidar menatap horor seorang pria yang sedari tadi hanya duduk diam di depannya dengan rokok di tangannya.
Sudah hampir setengah jam hanya keheningan di antara mereka berdua, mereka berdua juga tidak berniat untuk memulai pembicaraan.
"Ini orang bisu apa ya? Dari tadi gak ngomong ngomong." batin Rafidar sudah bosan dengan situasi seperti ini. "Ya kali gue duluan yang ngomong Kaga mau gue, kenal aja nggak."
Merasa sudah jenuh Rafidar berniat ingin kembali ke kamarnya, dan melanjutkan mencari sesuatu yang bisa di jadikan petunjuk masa lalu Rafi. Itu lebih penting daripada meladeni orang aneh ini!
Menghela napasnya berat Rafidar ingin sekali menangis sekarang, kenapa sangat sulit mengunakan kursi roda. padahal sudah hampir satu Minggu belajar mengunakan ini kursi roda, tapi tetap saja Rafidar susah mengendalikan kursi berjalan itu.
Rafidar mulai mendorong kursi rodanya dengan kedua tangannya, "Anjir.. susah amat ini kursi! Tangan gue jadi sakit ini," Rafidar menggerutu dalam hati meruntuki nasibnya sendiri.
"Mau kemana kamu."
Mendengar itu Rafidar menghentikan kursi rodanya, lalu berbalik menghadap orang yang tadi bersuara.
"Ternyata bisa ngomong, kirain bisu."
"Kamu ngatain saya bisu," marahnya kemudian berjalan mendekat lalu berjongkok mendekatan mulutnya ke telinga Rafidar. "Ohhh.. ternyata anak penakut ini, sekarang sudah mulai berani ya? Setelah bangun dari koma," pria itu menjeda ucapnya setelah itu tangannya mencengkram kuat baju Rafidar. "Sekarang kamu sudah berani melawan saya!" Lanjutnya lalu mendorong kursi roda Rafidar.
Untung saja Rafidar di dengan cepat mengerem kursi rodanya, jika terlambat sedikit Rafidar bisa jatuh ke lantai.
"Lo apa apaan sih! Kalo gue jatoh, lo mau tanggung jawab. Haah!" Sumpah demi apapun, sekarang jantung Rafidar berdetak kencang. Terlambat sedikit mungkin sekarang ia sudah pindah alam.
"Dasar lemah." Ejeknya lalu pergi entah kemana tidak ada yang tau.
"Sialan! Itu orang siapa sih? Muka aja ganteng, tapi gila."
"Itu om Boby, abang lupa," sahut Refi yang ternyata sedari tadi diam diam menguping.
"Dia siapa?"
"Adeknya Papa," kini giliran Rafa yang menjawab.
"Abang beneran lupa semuanya? Abang gak lagi acting amnesia kan." Tanya Refi memastikan jika abangnya itu tidak sedang bersandiwara.
Rafidar meneguk ludahnya sendiri mendengar ucapan Refi. Bingung pasti, tapi haruskah Rafidar mengatakan yang sebenarnya, tidak! Tidak untuk sekarang. Sebelum Rafidar mendapat semua informasi masa lalu Rafi.
"Maksud lo, gue pura pura amnesia gitu! Ehh..! Dengerin gue ya muka tembok retak! Gue beneran gak ingat apa apa." Ujarnya kesal. Orang beneran gak kenal di bilang amnesia.
Tapi ini masuk akal juga, pura pura amnesia ya? Sepertinya ini ide yang bagus. Dengan begitu ia tetap bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus berakting menjadi Rafi. Mana enak harus jadi anak pendiam, cupu, sumpah! Itu bukan gayanya sama sekali.
"Iya.. gue percaya. Tapi jangan ngegas gitu dong," ucap Refi tak mau kalah.
"Yaudah! Lo mending diem, gak usah ngomong."
Rafa memijat pelipisnya yang tiba tiba pusing. bagaimana tidak pusing, melihat abang dan Adeknya selalu berdebat setiap bertemu.
"Kalian berdua kenapa sih! Tiap ketemu selalu berantem."
"Gara gara abang itu," tunjuk Refi pada Rafidar.
"Enggak ya..! Gara gara lo!"
"Abang..!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RAFIDAR MAHESA. (On Going)
Teen FictionRAFIDAR tidak pernah menyangka hal ini terjadi padanya, transmigrasi jiwa. Siapa yang percaya itu akan terjadi di dunia nyata kan, itu semua hanya ada di dalam sebuah novel saja dan itu Juga hanya sebuah imajinasi dari seorang penulis novel. Tapi ad...