6

2K 112 1
                                    

Sejak pagi buta Rafidar sudah bangun, pemuda itu sudah duduk di kursi roda yang  mulai sekarang akan membantunya kemana mana.

Dalam hatinya ia mengumpati kakinya yang sekarang, kenapa harus lumpuh,  sangat menyusahkan.

Rafidar tidak akan menyia-nyiakan waktu lagi, secepatnya ia akan mencari tahu masa lalu Rafi. Dan satu hal yang paling penting.  Rafidar harus mulai berusaha untuk bisa berjalan normal kembali.

Kemarin ia sudah bertanya pada dokter yang selama ini merawatnya, kata dokter  kakinya masih bisa sembuh dan dapat berjalan lagi, dengan catatan ia harus rajin menjalani terapi.

Maka masih ada kesempatan untuknya bisa sembuh.

Hari ini Rafidar sendirian di rumah, Mala anak itu sedang sekolah. Sedangkan bik Sri saat ini berada di rumah utama untuk melakukan pekerjaannya.

"Dimana sih dia naruh buku itu," gerutunya sambil mengobrak-abrik lemari  mencari buku yang di maksud Mala kemarin.

Bahkan sekarang, kamarnya sudah seperti kapal pecah karena ulahnya.

"Raf, lo nyimpen itu buku di mane sih? Plis.. kasih gue ingatan atau apa kek, dari tadi gue udah obrak abrik semua tempat. Tapi buku lo gak ada."

Rafidar menghembuskan napasnya berat, "lama kelamaan gue bisa setres ini," ujarnya mengacak acak rambutnya sendiri frustasi.

Terdiam sesaat Rafidar baru ingat, satu tempat yang belum ia periksa. Ya, bawah kasur?  Biasanya di situ salah satu tempat yang aman buat nyembunyiin sesuatu. Itu yang selalu ia lakukan ketika masih di raganya dulu.

Dengan susah payah Rafidar berusaha mengangkat kasurnya,  meskipun sulit karena ia duduk di kursi roda. Namun bukan Rafidar namanya kalau menyerah begitu saja.

Setelah perjuangan yang melelahkan, akhirnya Rafidar dapat memindahkan kasurnya ya, meskipun itu membuat tangannya sakit tapi tak masalah buatnya.

Untung perjuanganya tidak sia sia, ada satu buku di bawah kasur. "Apa itu bukunya," ucapnya lalu mengambil buku itu. Ternyata memang benar itu milik Rafi, sebab tertera nama Rafidar Mahesa di buku itu.

Tak membuang waktu Rafidar segera membuka dan bersiap untuk membacanya, tapi itu harus ia tunda ketika seseorang tiba-tiba masuk dan mengagetkannya.

"Apa yang kau lakukan!"

"Anjir... Om ngagetin aja, kalo gue mati jantungan siapa yang tanggung jawab!" Ujarnya tanpa sadar ia mengumpati orang yang ada di hadapannya sekarang.

Plakk...!

"Berani sekali kau mengumpat! Dasar anak kurang ajar!" Marahnya dan menampar pipi Rafidar dengan keras sehingga meninggalkan bekas kemerahan di pipinya.

Rafidar mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan dari pria yang sayangnya ayah dari raganya sekarang. Menatap tajam Rafidar ingin sekali membalas menampar Bima, tapi Ia mengurungkan niatnya. bukan tidak berani, tapi untuk saat ini biarlah dirinya mengalah terlebih dahulu. Belum waktunya untuk berontak sebelum Rafidar mengetahui masa lalu Rafi dan keluarganya.

"Om apa apaan sih? Main nampar aja, salah gue apa?" Tanyanya sambil mengusap pipinya yang masih perih.

Bima menatap tajam Rafidar, tapi berbeda dengan hatinya. "Ada apa dengannya? Kenapa sifatnya berubah." Batin Bima terus memperhatikan gerak gerik Rafidar.

Rafidar sadar jika di perhatikan oleh Bima. "Apa lihat lihat!" ujarnya ketus membuat Bima sadar akan lamunannya.

Tidak ingin memperpanjang masalah, Bima memilih pergi dari kamar Rafidar tanpa berucap satu kata pun kemudian menutup pintu dengan keras.

RAFIDAR MAHESA. (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang