24

349 37 1
                                    


Dua pria duduk berhadapan, sorot mata keduanya kini saling tatap. Perasaan mereka berdua sedang berperang dengan pikiran masing-masing. Bima, ia masih mencerna kalimat yang diucapkan oleh Dimas beberapa menit yang lalu.

Kini Bima dan Dimas berada di sebuah cafe tak jauh dari makam.

Menghela napasnya berat Bima memulai membuka suara, "jadi, Adinda saudara sepupumu. Tapi kenapa kalian berdua tidak pernah memberitahuku." Bima sangat terkejut bahkan kecewa, mengapa Dimas maupun Adinda tidak mengatakan jika mereka masih saudara. Padahal sudah bertahun tahun lamanya, tapi baru sekarang ia mengetahuinya. Apalagi sekarang Adinda sudah tiada.

"Maaf, bukan maksud kita menyembunyikannya. Kita punya alasan,  Dan kita tidak punya pilihan lain."

"Alasan, alasan apa yang kamu maksud." Bima tidak mengerti apa maksud Dimas. Apa ada sesuatu yang di sembunyikan oleh istrinya selama ini, tapi apa?

"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Ini masalah keluarga kami, tapi aku janji, aku akan menceritakan semua padamu nanti. aku janji." Ucap Dimas

Bima tidak bertanya lagi,  Bima mengerti maksud dari perkataan Dimas. Tapi nanti ia akan kembali  untuk meminta jawaban dari Dimas.

" Oke, aku akan menunggu, menunggu sampai kamu menceritakan semuanya."

"Pasti." Ucap yakin Dimas.

*****

Mata yang tadinya tertutup, perlahan mulai berkedip. Pemuda itu adalah Rafidar. Ia sudah sadar sejak beberapa menit lalu, tapi sakit kepala dan sesak di dada membuatnya kembali memejamkan matanya. "Kenapa  sakitnya gak ilang ilang.. malah makin sakit.." ucap lirih Rafidar  seraya tangannya memukul dada berharap rasa sesaknya mereda.

"Raf, tu-buh.. lo nyusa..hin tau gak..!"

Ingin rasanya Rafidar berteriak, tapi jangankan untuk berteriak. Berbicara saja ia harus mati matian menahan sesak agar bisa bicara.

Tak lama terdengar suara pintu terbuka, ternyata om Boby datang dengan membawa makanan dan minuman untuknya. "Kamu kenapa!" Panik Boby melihat keponakannya seperti susah bernapas.

Rafidar menggelengkan kepalanya, ingin mengeluarkan suara tapi tidak bisa. Rafidar terus menerus memukul dadanya dan itu membuat Boby bingung harus bagaimana.

Boby meletakkan mangkok dan gelas yang ia bawa tadi di atas meja, "Dimana obat kamu," ucap Boby kemudian membantu Rafidar duduk bersandar pada sandaran kasur.

Rafidar menunjuk tas yang ada di sampingnya, Boby dengan cepat mencari obat di dalam tas. Boby dapat melihat banyak obat obatan di sana, karena bingung obat mana yang harus ia ambil, Boby mengeluarkan semua obat itu di atas kasur. "Obat mana?" Tanya Boby karena memang Boby tidak mengerti tentang obat obatan.

Rafidar sama bingungnya, padahal kemarin ia sudah di beritahu dokter, dengan asal Rafidar mengambil salah satu obat itu dan langsung menelannya tanpa bantuan air. Boby melihat itu segera mengambil air minum yang ia bawa tadi, "minum dulu," peringatnya pada Rafidar.

Rafidar meminum air itu hingga habis,  Rafidar dalam hati mengumpati tubuhnya, lebih tepatnya tubuh Rafi.  Dan soal penyakit jantung, sebenarnya ia sudah mengetahuinya sejak awal sebelum Bima tahu. Dari mana Rafidar tau? Jawabannya dari buku Diary milik Rafi.

Sungguh malang sekali nasibnya,  jika bisa memilih.  Rafidar akan memilih mati karena keselek ayam goreng dari pada hidup tapi bertransmigrasi ke dalam tubuh Rafi yang punya sakit jantung seperti ini.

RAFIDAR MAHESA. (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang