23

447 38 4
                                    


Cukup lama Rafidar pingsan, Boby tidak mengerti kenapa keponakanya tiba tiba jatuh pingsan. Boby sudah memanggil dokter untuk memeriksa, dan dokter berkata bahwa Rafidar baik baik saja, hanya kelelahan. Untuk sakit kepalanya tidak perlu di khawatirkan, cukup perlu banyak istirahat mengingat kondisi tubuh Rafidar yang lemah, dokter menyarankan agar Rafidar jangan dulu melakukan aktivitas terlalu berat terlebih dahulu.

"Kalau begitu saya permisi, jika ada sesuatu segera hubungi saya." Ucap dokter sebelum pergi.

"Sifatmu memang berubah, tapi fisikmu tetap saja lemah! Sama seperti papamu." Boby memandang sinis Rafidar. Jika bukan karena balas dendam, tidak akan sudi ia bersikap baik dengan anak dari kakaknya itu.

"Jika sekarang aku membunuhmu, itu terlalu cepat! Aku ingin melihat papamu menderita!"  Bukankah ini waktu yang tepat untuk menghabisi nyawa Rafidar.

Tapi Boby mengurungkan niatnya, ia ada cara lain untuk melancarkan rencananya. Kematian Rafidar itu terlalu mudah, Boby punya sesuatu yang lebih menarik dari pada kematian.

"Aku bersumpah! Akan membuat kalian semua menderita. Terutama, kau abangku tersayang!" Boby tersenyum smirk lalu bangkit dari duduknya, setelah itu keluar dari kamar menuju dapur.

Sebenarnya apa yang di rencanakan Boby, kenapa ia sangat yakin bahwa rencananya akan berhasil.

••••••

Sementara di perusahaan, Bima dan Mahardika baru saja selesai dengan rapat, dan sekarang mereka sedang berada di ruangan milik Mahardika.

"Ada apa dengan wajahmu itu?" Mahardika mulai membuka suara, pasalnya sedari tadi keheningan yang terjadi di ruangannya.

Bima memutar bola matanya malas, kenapa papanya harus bertanya. Bukankah ia sudah tau jawabannya, tidak perlu bertanya lagi. "Untuk apa papa bertanya, papa sudah bisa tau jawabannya!" Ucap Bima kesal.

"Kau ini! Tidak bisakah bicara baik baik denganku. Bukannya kamu sendiri, yang menyuruh bik Sri membiarkan putramu pergi dengan adekmu itu."

"Papa tanya, jawab jujur. Sebenarnya kamu punya rencana apa? Apa kamu ingin selamanya seperti ini dengan Boby. Dia adekmu sendiri. Bima.."

"Itu bukan urusan papa, dan papa tidak perlu mengetahuinya." Balas Bima kemudian keluar dari ruangan papanya dalam perasaan kacau.

Bima ingin menjemput Rafidar, tapi terpaksa ia urungkan. Jika dirinya bertindak sekarang, semuanya pasti akan berantakan. Dan rencana yang telah ia lakukan bertahun tahun akan hancur dalam sekejap.

Sementara Mahardika, pria paruh itu berkali kali menghembuskan napasnya berat. Mahardika membuka laci di bawah mejanya, dan mengambil sebuah kotak kecil lalu membukanya. "Apa yang harus aku lakukan, jika ini sampai ke tangan Bima, dan Bima mengetahui isi rekaman suara ini..." Sungguh ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Mahardika tau, apa yang ia lakukan ini salah. Tapi mereka berdua adalah anaknya, ia hanya tidak ingin kedua anaknya saling bermusuhan apalagi sampai saling membunuh.

Tapi jika ia hanya diam tak melakukan sesuatu, Boby akan terus berulah dan menyakiti semua orang. Termasuk dirinya.

Semuanya adalah kesalahannya, kalau saja dulu ia tidak menyetujui perjodohan antara Bima dan Andinda
pasti kedua anaknya tidak akan saling membenci seperti ini.

"Maafkan papa, ini salah papa."

******

Bima melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, bahkan mengabaikannya  teguran atau pun umpatan dari orang lain. Pikirannya saat ini sangat kacau. Di tambah sekarang Rafidar bersama Boby di apartemen miliknya dulu.

RAFIDAR MAHESA. (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang