Amarah Danu

3K 148 4
                                    

"Benerin ke bengkel dulu kak. Takutnya nanti malah lebih parah. "Ujar Shinta yang sedari tadi sudah duduk di kursi kayu yang ada di garasi menunggui Kafka yang sedang membongkar sepeda motornya.

"Iya nda, besok deh kakak ke bengkel. "Jawab Kafka dan mulai memasang ulang setiap bagian dari sepeda motornya.

Mereka hanya berdua karena Caca dan Bella masih sekolah sedangkan Danu masih di ladang. 

Suara sepeda motor Danu membuat keduanya menoleh. Bella dan Caca turun dari sepeda motor dan berlari kearah Shinta dan Kafka.

"Kak Bella abis nangis? "Tanya Shinta karena melihat mata putrinya itu sembab.

Bella hanya diam tak menjawab.

"Anakmu bun. Masih kecil udah berani pacaran. Mana udah mau ujian juga. "Seru Danu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh istrinya tadi.

'Gila, ikut bikin aja enggak. Main anakmu anakmu.' batin Shinta tak berani mengungkapkan.

"Kakak Bella sama Kakak Caca ke kamar dulu ya ganti baju. "Pinta Shinta kepada kedua putrinya.

Keduanya mengangguk dan berjalan kedalam rumah tanpa mengucapkan satu katapun.

"Sini mas, duduk. "Pinta Shinta kepada suaminya. Dia menepuk kursi yang ada disampingnya.

Sementara Kafka masih sibuk dengan sepeda motornya yang tak jauh dari tempat kedua orangtuanya duduk.

"Kenapa? "Tanya Shinta lembut kepada suaminya.

"Bella nda, dia ternyata kalau di sekolah malah pacaran sama anak kampung sebelah. Ini tadi wali kelasnya WA jadi aku menghadap ke sekolah. "Cerita Danu tentang putri pertamanya.

"Dan... "Pancing Shinta karena Danu terdiam beberapa lama.

"Sambil nunggu aku jemput rupanya mereka sering ngobrol berdua di halaman sekolah yang mulai sepi. Guru-guru sering liat itu. Dan setelah guru-guru melakukan razia ponsel ternyata mereka sering chat dan itu menjijikkan nda. Dulu aja aku waktu muda gak semenjijikkan itu. "Jelas Danu panjang lebar membuat Shinta tergelak.

"Kakak memang salah karena itu belum waktunya. Terus papa mau gimana? "Tanya Shinta lagi. Tangannya sedari tadi mengelus perutnya.

"Setelah kakak lulus beberapa minggu lagi papa mau kirim kakak ke pondok pesantren. "

Ucapan Danu membuat Shinta dan Kafka saling berpandangan.

"Pa, bukan seperti itu penyelesaiannya. " Ujar Shinta mencoba membujuk Danu.

"Enggak ma. Itu penyelesaian terbaik. Biar kakak hidup mandiri dan jauh dari teman-temannya disini. Ini keputusan final. " Tegas Danu tak mau dibantah.

Shinta akhirnya diam tak membantah. Karena bagaimanapun posisinya adalah ibu sambung. Dia takut jika terlalu ikut campur malah dia dan Danu yang bertengkar.

...

Suasana makan malam hari ini sepi. Caca ikut Bu Ani menengok bayi saudara jauh mereka sementara Kafka belum pulang dari bengkel temannya di kota.

Menyisakan Shinta, Danu dan Bella di meja makan.

"Dimakan dulu kak nasinya. Jangan diem terus. " Ucap Shinta karena sedari tadi Bella hanya diam.

"Papa akan mendaftarkan kakak di pesantren milik Ustadz Mumtaz. Besok papa akan kesana bersama bunda. Kakak nanti SMP di pesantren Ustadz Mumtaz aja. " Ucap Danu sembari menatap Bella yang ada di depannya.

Bella hanya mengangguk menuruti ucapan papanya. Sejatinya Bella adalah anak yang penurut.

"Who's Ustadz Mumtaz? " Tanya Shinta lirih kepada suaminya.

"Sepupu jauhnya  almarhum mama Sarah. Beliau punya pesantren di kaki gunung. Besok kita silaturahmi kesana. Tadi papa sudah telepon Ustadz Mumtaz. " Jelas Danu kepada istrinya yang memang belum tau siapa itu Ustadz Mumtaz.

Shinta hanya mengangguk mengerti.  Mereka menyantap makan malam dengan hening tanpa ada pembicaraan sama sekali.

...

Pagi pagi sekali setelah Shinta memasak mereka berangkat. Hanya berdua karena Kafka akan menggantikan Danu ke lahan sementara Caca dan Bella masih harus sekolah.

Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 3 jam sebelum akhirnya mereka sampai di gerbang pesantren yang ada di kaki gunung.

"Udaranya seger pa, sama kayak di rumah. Kakak pasti betah. " Celetuk Shinta setelah Danu membuka sedikit jendela untuk membiarkan udara pagi masuk.

"Semoga begitu nda. Sebetulnya papa juga gak tega. Tapi ini demi kebaikan kakak. Kalau kakak tetap SMP di desa pergaulan kakak akan dengan orang-orang yang sama. " Ujar Danu sembari terus menyetir.

Shinta mengangguk mengerti. Danu mengusap perut istrinya dengan tangan kirinya yang bebas.

"Adek pinter banget enggak rewel diajak perjalanan jauh. Jadi gak sabar dek 2 bulan lagi kamu udah bisa papa gendong. " Ujar Danu kepada bayi yang ada di dalam perut istrinya.

Danu sedikit khawatir dengan persalinan Shinta nanti, bagaimanapun dia masih ada trauma akan kelahiran Caca dulu. Dimana dia harus kehilangan istrinya, Sarah. Tapi dari hasil pemeriksaan tiap bulan kondisi Shinta sangat sehat untuk nanti melakukan persalinan normal. Shinta juga banyak bergerak dan melakukan yoga sehingga tidak banyak keluhan yang dialami semasa hamil. Shinta juga tidak pernah ngidam macam macam selain selalu meminta dibawakan kelapa muda setiap hari saat Danu pulang dari sawah. Asupan gizi dan vitamin Shinta juga terpenuhi selama hamil sehingga bayi yang dikandungnya memiliki berat yang cukup sesuai dengan usia kehamilannya.

Akhirnya mereka sampai di gerbang pesantren yang cukup besar. Seorang security menghentikan mereka.

"Assalamu'alaikum bapak, ibu. Maaf ada keperluan apa? " Tanya security tersebut dengan sopan.

"Waalaikumsalam. Saya Danu, saya berniat bertemu dengan Ustadz Mumtaz. Tadi sudah menghubungi via telepon. " Jawab Danu sembari menunjukkan riwayat panggilan dengan Ustadz Mumtaz.

"Baik, silahkan bapak parkir terlebih dahulu. Setelah itu akan diantar ke kantor untuk bertemu Ustadz Mumtaz. " Ujar security tersebut sembari menunjukkan lokasi parkir.

"Terima kasih pak. " Ucap Danu sebelum menutup jendela mobilnya dan menjalankan mobilnya untuk parkir di tempat parkir tak jauh dari pos security.

Danu dan Shinta turun dari mobil. Seorang santri senior mengajak mereka untuk berjalan ke kantor menemui Ustadz Mumtaz yang merupakan anak dari Kyai Abu Bakar, pemilik pesantren ini.

Shinta takjub dengan bangunan pesantren. Sebuah pesantren modern tapi tetap tidak menghilangkan ornamen ornamen tradisional. Bahkan pembangunan mengikuti kontur tanah sehingga tak begitu berbeda dengan rumah-rumah penduduk yang ada diluar pagar pesantren tadi.

"Assalamu'alaikum. " Santri senior itu mengucapkan salam dan dibalas oleh beberapa orang di ruangan tersebut.

"Mencari siapa kang? " Tanya seorang wanita berjilbab lebar yang usianya sepertinya tak jauh dari Shinta. Perutnya juga besar sepertinya wanita ini juga sedang mengandung.

"Ngapunten ustadzah, niki wonten tamu ingkang gadah janji kalih Ustadz Mumtaz. " Ujar santri senior tersebut dengan menunduk tak menatap wanita yang tadi bertanya kepadanya.

("Maaf ustadzah, ini ada tamu yang punya janji dengan Ustadz Mumtaz. ")

" Monggo monggo duduk dulu. Ustadz Mumtaz masih ada di dalem Abah. Kang minta tolong njenengan panggilkan nggih di dalemnya Abah. Tadi kesana sama saya tapi Ustadz Mumtaz masih ada yang perlu dibahas dengan abah. "Ujar wanita tersebut panjang lebar.

Santri senior itu pamit untuk memanggil Mumtaz sementara Danu dan Shinta ditemui dulu oleh wanita tadi.

" Saya Azlia Salim, istri dari Ustadz Mumtaz. Suami saya sudah menginformasikan bahwa akan ada sepupu dari Mbak Salma yang kesini. Monggo diunjuk dulu minumnya. "Ujar Azlia memperkenalkan diri.

" Nggih terima kasih ustadzah. Saya Shinta, ibu sambungnya Bella yang akan mondok disini. Ini suami saya yang juga suami dari almarhumah mbak Sarah, sepupunya Ustadzah Salma. "Jawab Shinta memperkenalkan diri.

Kedua wanita itu terlibat obrolan kecil dan Danu sesekali menimpali sembari menunggu Ustadz Mumtaz datang.

Menikahi Duda Anak TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang