Kelahiran Nayanika

3.1K 155 4
                                    

Malam sudah semakin larut, rintik hujan yang sedikit mereda membuat Shinta bernafas lega. Dia hanya berdua dengan Caca di rumah malam ini sementara Danu masih mengantar Kafka untuk ke kosnya yang dekat dengan universitas tempat dia akan berkuliah untuk menggapai gelar sarjana. Sementara Bella sudah masuk pesantren sesuai perintah papanya. Sebetulnya Shinta sudah merasakan perutnya sudah sakit sedari tadi selepas dia menunaikan kewajiban shalat maghrib. Sesekali dia meringis kesakitan dan mengusap perutnya.

"Sebentar sayang, ayo tunggu papamu datang dulu. "Bisik Shinta kepada bayi mungil yang ada di perutnya.

Shinta membuka kembali layar handphonenya. Tidak ada pesan ataupun panggilan dari Danu menandakan pria itu masih menyetir mobilnya untuk kembali pulang. Shinta menghembuskan nafas pelan berusaha menahan sakitnya.

Ponselnya akhirnya berdering, bukan suaminya namun ibunya.

"Assalamualaikum mama. "Sapa Shinta kepada mamanya, Reininta.

"Waalaikum salam, gimana nak? apa mama perlu nginap disana? "Tanya Reininta cemas pasalnya menantunya belum juga pulang sementara perut Shinta sudah mulai sakit.

"It's okay ma. Aku nunggu mas Danu sendirian aja gak papa kok. " Jawab Shinta tak ingin merepotkan mamanya. Pasalnya mama dan ayahnya baru saja pulang dari Kalimantan sore tadi. 

"Ya sudah mama hubungi lagi nanti nak. "Ujar Reininta pada akhirnya.

Setelah percakapan mereka terputus pintu kamar Shinta terketuk.

"Bunda, Caca boleh masuk? "Tanya Caca di kamar.

"Boleh kak, masuk aja pintunya enggak bunda kunci kok. "Jawab Shinta tanpa berniat beranjak dari tempat tidur.

Caca masuk ke kamar bundanya dan langsung naik ke tempat tidur.

"Bunda kok pucet? gak papa? "Tanya Caca melihat bundanya pucat dan keringatnya mulai terlihat.

"Gak papa kak. Udah selesai belajarnya? Ayo nonton upin ipin aja sama bunda. "Jawab Shinta dan memeluk Caca.

Keduanya fokus menonton televisi yang sedari tadi sudah menyala. Sesekali Shinta mengelus perutnya berusaha menahan rasa sakit yang menderanya.

Satu jam kemudian suara mobil terparkir di garasi.

"Nda itu pasti papa. Kakak kesana ya nda bilang kalau perut bunda sakit. "Ujar Caca dan dibalas anggukan Shinta.

Caca keluar kamar dan kembali bersama papanya yang tergopoh-gopoh.

"Nda gimana? Udah mules? "Tanya Danu panik pasalnya sedari tadi Shinta tidak memberitahukan kondisinya kepada Danu agar suaminya itu tidak kepikiran di jalan.

Shinta mengangguk.

"Kak, ambil hp papa, kakak telepon Dokter Tia ya. Bilang bunda sudah sakit perutnya. "Pinta Danu kepada Caca sembari memberikan handphonenya.

Caca mengerti dan segera melakukan apa yang papanya pinta.

Shinta dibantu Danu untuk berbaring. Nafasnya mulai terengah-engah. Wajahnya semakin pucat, dan tangannya semakin erat memegang lengan suaminya. Di sebelahnya, Danu duduk dengan gelisah, menggenggam tangan Shinta erat-erat. Setiap kali Shinta meringis kesakitan, Danu merasakan hatinya berdenyut penuh kecemasan. Dia teringat akan persalinan terakhir Sarah, istri pertamanya yang membuat Sarah juga pergi meninggalkannya.

Rasa sakit yang dirasakan Shinta semakin lama semakin intens. 

Shinta sedang berbaring di ranjang dengan napas yang terengah-engah. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap bersinar penuh harap. Di sebelahnya, Danu duduk dengan gelisah, menggenggam tangan Shinta erat-erat. Setiap kali Shinta meringis kesakitan, Danu merasakan hatinya berdenyut penuh kecemasan. Danu, yang biasanya kuat dan tegar, kali ini merasa tak berdaya. Ia hanya bisa duduk di samping istrinya, mencoba memberikan kekuatan meski hatinya dipenuhi kekhawatiran meskipun kebahagiaan mereka semakin dekat.

Dokter Tia datang dan masuk kamar dengan Caca. Bu Ani yang mendengar keributan akhirnya bangun dan ke rumah putranya.

"Wes arep mbabarno to anakku? " Tanya Bu Ani masih belum mengerti. Dia berpapasan dengan Dokter Tia di lorong.

(Sudah mau melahirkan kah anakku?)

"Inggih mbah. "Jawab Dokter Tia menjawab pertanyaan Bu Ani.

Setelah maghrib tadi memang Bu Ani sempat memijat pinggang Shinta yang mengeluh sakit. Setelah itu Shinta meminta Bu Ani untuk beristirahat sembari dia menunggu suaminya pulang.

Bu Ani menggandeng Caca untuk mengunci pagar dan pintu dulu sementara Dokter Tia langsung masuk ke kamar Shinta.

Dokter Tia memeriksa kondisi Shinta dan mengatakan bahwa Shinta sudah siap untuk melahirkan dengan normal. Dokter Tia berdiri di samping Shinta, memandu proses persalinan dengan tenang dan penuh pengalaman. Wajah Dokter Tia tetap tenang, meskipun ia tahu persalinan ini tidak akan mudah. "Tarik napas yang dalam, Ta. Jangan menyerah," ucap Dokter Tia dengan lembut, mencoba menenangkan Shinta yang berjuang melawan rasa sakit.

Setiap dorongan membawa Shinta semakin dekat ke ambang kelelahan, namun ia tetap bertahan. Di sela-sela napasnya yang berat, Shinta mengingat setiap doa yang ia panjatkan selama sembilan bulan terakhir, berharap agar bayinya lahir dengan selamat. Danu terus memegang tangan Shinta, mengusap keringat di dahinya, dan berbisik di telinganya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, di dalam hatinya, Danu tidak bisa menghilangkan kecemasan yang terus menghantui.

Jam-jam terus berlalu, dan akhirnya, setelah perjuangan panjang, terdengar suara tangis yang nyaring memenuhi ruangan. Tangisan itu seolah menjadi suara yang paling indah di telinga Shinta. Air mata kebahagiaan mengalir di wajah Shinta saat ia mendengar suara bayi mereka untuk pertama kalinya. Dokter Tia dengan hati-hati mengangkat bayi itu dan menyelimuti tubuh mungilnya dengan kain hangat sebelum menyerahkannya kepada Shinta.

"Ini dia, Ta. Anakmu, bayi perempuan yang cantik dan sehat." kata Dokter Tia dengan senyum penuh haru.

Danu tidak bisa menahan air mata yang tumpah di pipinya saat melihat putri mereka untuk pertama kalinya. Bayi itu, dengan mata yang masih tertutup rapat dan kulit yang kemerahan, tampak begitu rapuh namun kuat di saat yang sama. Danu merasa hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan yang tak terlukiskan. Semua kecemasan dan kekhawatiran yang ia rasakan selama ini seketika menguap, digantikan oleh rasa syukur yang mendalam.

Shinta, meskipun kelelahan, tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah mungil putrinya. Bayi itu tampak begitu sempurna di matanya, setiap garis dan lekuk wajahnya seolah membawa cahaya baru dalam hidupnya. Shinta merasakan cinta yang begitu besar dan dalam mengalir dalam dirinya, cinta yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Danu mengulurkan tangannya dan dengan lembut mengusap pipi bayi mereka. 

"Nayanika, nama yang indah untuk putri kita. Terima kasih sudah melahirkan Nayanika dengan selamat sayang. Aku sangat mencintai kamu. " bisiknya dengan suara bergetar.

Shinta mengangguk lemah, setuju dengan nama yang telah mereka pilih bersama-sama sejak lama. Nama yang berarti 'mata yang indah', menggambarkan harapan mereka bahwa putri mereka akan tumbuh menjadi seorang wanita yang bijaksana dan penuh kasih.

Setelah Shinta dan Nayanika dibersihkan Dokter Tia pamit undur diri dan Bu Ani serta Caca masuk ke dalam kamar.

"MasyaAllah ayune Ca adik e. "Puji Bu Ani sembari tersenyum gemas dengan cucu bungsunya.

(MasyaAllah cantiknya Ca adiknya. )

Shinta tersenyum. Putrinya memang benar-benar cantik. Mewarisi hidung mancung dari kakeknya dan kulit putih bersih sepertinya.

Bu Ani memeluk menantunya yang telah selesai berjuang untuk melahirkan.

"Selamat yo cah ayu, wes dadi ibu. Maturnuwun cah ayu wes gelem dadi mantune ibu. "Ucapan tulus Bu Ani membuat mata Shinta memanas karena terharu dengan ketulusan ibu mertuanya.

(Selamat ya cantik, sudah menjadi ibu. Terima kasih sudah mau menjadi mantunya ibu. )

"Wes wes ben bunda belajar menyusui. Ayo Ca keluar dulu sama mbah. "Ajak Bu Ani kepada Caca yang sedari tadi tak mau beranjak dari sisi adik kecilnya.

Menikahi Duda Anak TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang