9. mémoire passée

1.3K 117 13
                                    

Suara bedside monitor yang berasal dari salah satu ranjang pasien itu terdengar sangat nyaring. Dokter yang sedang melakukan CPR dan juga para perawat yang sigap menyiapkan defibrillator membuat Sangga dibuat sesak melihatnya.

"150 joule"

"All clear?" Dokter segera meletakkan alat kejut jantung itu pada dada pasien dan semua yang berada disekitar ranjang sedikit mundur menjauh memastikan tidak ada satu orang pun yang kontak dengan pasien.

"Oke, shock!"

Tubuh tersebut tersentak saat diberi kejut. Melirik monitor yang masih menunjukkan garis lurus, dokter memutuskan untuk kembali memberikan kejutan yang kedua dengan sedikit menaikkan tegangan.

"200 joule. All clear? Shock!"

Lagi-lagi garis yang terlihat pada monitor itu tetap lurus tidak ada perubahan hingga dokter kembali melakukan kompresi dada untuk mencoba mengembalikan detak yang sudah berhenti itu.

Hingga di mana jantung Sangga terasa ikut terhenti ketika dokter menyampaikan waktu kematian terdengar oleh telinga membuat air mata yang sedari tadi ia tahan itu menetes dengan deras.

"ga.. Sangga?"

"Sangga?"

Sangga mengerjapkan mata saat suara itu berhasil membuyarkan lamunannya. Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, hingga pandangan itu terhenti pada sosok adiknya yang masih terbaring dengan mata yang terpejam tenang membuat ia menghembuskan napas lega.

Suara bising yang berasal dari bedside monitor pasien dan suhu ruangan ICU yang dingin benar-benar berhasil membawa Sangga pada memori kelam masa lalunya di mana ia harus menyaksikan salah satu orang terkasih harus menghembuskan napas terakhir di hadapannya.

"Ah iya maaf, dok? Ada apa?" Sangga beranjak dari duduknya saat menyadari dokter Gita, dokter anestesi yang sedang bertugas jaga di ICU itu memanggil namanya sedari tadi.

"Dari pada melamun, ayo ikut saya."

Suara lain kembali terdengar, dirinya bahkan tidak menyadari sudah ada dokter Arya di sini. Tanpa pikir panjang, Sangga segera mengikuti langkah kedua dokter tersebut yang memasuki ruangan di mana adiknya berada.

"Telah dilakukan SBT T-Piece trial kurang lebih 2 jam, napasnya sudah spontan, hemodinamik dalam batas stabil. Pasien sudah dalam kondisi teranestesi dan telah siap ekstubasi dalam, dok." Jelas seorang perawat anestesi.

Sangga berjalan dan berdiri di samping dokter Arya ketika dokter itu menyuruhnya untuk mendekat agar bisa lebih jelas melihat proses ekstubasi.

Sebagai Koas tentu Sangga memerhatikan setiap penjelasan yang diberikan oleh dokter anestesi ketika melakukan proses ekstubasi pada adiknya. Di mulai dari memastikan pola napas sudah reguler, dilanjutkan dengan melakukan section untuk membersihkan secret yang berada dalam mulut maupun selang ETT. Tidak lupa berikan oksigen beberapa siklus, kembali lakukan sectioning lagi dan mengempiskan cuff endotrakheal tube sebelum mencabut selang ETT dari mulut. Jika selang itu sudah berhasil dicabut maka lanjut beri oksigen menggunakan masker sungkup.

"Jam jaga kamu sudah lewat 1 jam yang lalu. Sana pulang, kantung mata kamu udah kaya kantong doraemon tuh." Canda dokter Arya saat proses ekstubasi adiknya telah selesai.

Dokter Arya juga menjelaskan jika Adiknya masih perlu pemantauan pasca ekstubasi untuk memastikan jika adiknya itu bisa mempertahankan napasnya tanpa bantuan pernapasan dalam beberapa jam kedepan sebelum dipindahkan ke ruang perawatan.

"Jangan lupa beritahu ibumu lagi, jangan sampai kejadian kemarin terulang ya, Sangga. Kasian ibumu sampai khawatir karena tak kunjung mendapat kabar Garvi darimu."

GarvitaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang