16. Pression

668 110 5
                                    

Setelah kejadian malam itu, waktu terasa berjalan lambat bagi Garvi. Satu bulan penuh ia habiskan bolak-balik ke rumah sakit, menjalani check-up pasca operasi otak yang ia jalani, dan melewati serangkaian terapi yang menguras fisik dan mentalnya. Setiap langkah terasa berat, tapi ia terus berjuang. Dengan semangat yang tak padam, akhirnya hari ini tiba, hari di mana ia akan kembali ke kampus dan menjalani kehidupan perkuliahannya lagi.

Langit cerah menyambut pagi itu, seolah mengiringi langkah Garvi yang perlahan tapi pasti menuju ruang kelas. Meski sedikit gugup, ia merasa lega bisa kembali ke rutinitas yang dulu ia anggap biasa. Begitu sampai di kelas, Garvi tak menyangka teman-teman sekelasnya sudah menyiapkan kejutan. Dengan senyum hangat dan tawa bahagia, mereka menyambutnya kembali. Ada balon, makanan ringan, dan bahkan poster kecil bertuliskan, "Welcome Back, Tara!"

Garvi merasa haru, tak menyangka bahwa kepulangannya disambut dengan begitu banyak cinta dan perhatian. Beberapa teman mendekat, menanyakan kabarnya dengan antusias. Yang lain memberinya pelukan dan kata-kata penyemangat. Untuk sesaat, ia lupa akan semua rasa sakit dan rasa takut yang menyertainya selama dua bulan terakhir. Di saat itu, ia hanya merasa bersyukur, bersyukur masih bisa berdiri di sini, di antara teman-temannya, melanjutkan hidup yang sempat terasa terhenti.

"Thanks berat guys" ujar Garvi dengan senyum lebar, mencoba menahan rasa harunya. "Gue ga nyangka bakal disambut begini. Rasanya senang banget bisa balik lagi."

Mereka tertawa, memberikan semangat, dan memastikan bahwa Garvi tahu betapa berharganya kehadirannya di kelas. Hari itu menjadi hari yang akan selalu ia ingat, bukan hanya karena ia berhasil melewati masa sulit, tapi juga karena ia tahu, ia tak melakukannya sendirian.

Hari pertama Garvi kembali ke kampus ternyata bertepatan dengan dimulainya ujian tengah semester. Rasa gugup mulai menghampiri, karena ketidakhadirannya selama dua bulan membuatnya merasa tertinggal jauh. Otaknya terasa kosong, seolah semua materi yang pernah dipelajari menguap begitu saja. Tangannya sedikit bergetar saat ia memegang pulpen, membayangkan soal-soal ujian yang menantinya.

Namun, di balik kegugupannya, Garvi merasa sedikit lega. Selama beberapa minggu terakhir, Juan-sahabat setianya-tak pernah absen untuk membantunya. Juan selalu datang membawakan buku catatan, materi kuliah, bahkan terkadang merekam penjelasan dosen agar Garvi bisa mengejar ketertinggalan. Meski sulit untuk memfokuskan pikiran selama masa pemulihan, setidaknya ia sudah membaca beberapa materi yang penting.

"Lo pasti bisa, Tar," Juan berkata sambil menepuk bahunya sebelum mereka masuk ke ruang ujian. "Gue udah kasih lo semua materi yang lo butuhin. Jangan overthinking, kerjain aja semampunya."

Garvi hanya mengangguk, mencoba tersenyum meski hatinya masih dipenuhi keraguan. "Gue nggak yakin nih, gue ngerasa otak gue belum sepenuhnya balik kaya dulu."

"Tenang aja, lo pasti bisa ngelewatin ini. Gue yakin," ujar Juan dengan penuh keyakinan.

Setelah duduk di ruang ujian dan kertas soal dibagikan, Garvi menarik napas dalam-dalam. Ia tahu dirinya tidak bisa mengharapkan hasil sempurna. Tapi setidaknya, dengan bantuan Juan, ia sudah mencoba yang terbaik untuk membaca dan memahami materi. Jari-jarinya mulai menari di atas kertas, menjawab soal demi soal dengan usaha maksimal.

Waktu terasa berjalan cepat, ujian hari pertama sudah berakhir. Garvi menyerahkan lembar jawabannya dengan hati yang campur aduk. Ia merasa lega karena berhasil menyelesaikannya, tapi keraguan tentang nilai yang akan ia peroleh masih menghantui pikirannya.

Di luar ruang ujian, Juan menunggunya dengan senyum lebar. "Gimana tadi? Lancar?"

Garvi mengangkat bahu sambil tertawa kecil. "Ya, setidaknya ga kosong total. Gue ga tau deh nilainya bakal gimana, tapi gue udah ngelakuin yang gue bisa."

GarvitaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang