Baru saja Garvi sampai di rumah setelah kegiatannya di Kampus. Bunda menghubunginya dengan nada ceria, mengajak Garvi untuk makan bersama dalam rangka merayakan ulang tahun wanita itu. Namun, Garvi merasa ragu. Ingatan akan suasana rumah yang tidak nyaman menghantuinya, dan dia merasa tidak diharapkan di sana.
“Ayo, kamu harus hadir, bunda pengen merayakan hari istimewa ini seperti tahun-tahun sebelumnya." ujarnya.
Garvi terdiam. “Bunda, aku ga mau ke sana, kecuali kalau kita rayain berdua aja, di rumah kita dulu."
Amara mencoba meyakinkan, “Ayahmu pergi lagi untuk bekerja, kan? Tidak ada penolakan, bunda jemput kamu sekarang."
"Bunda, aku… merasa ga nyaman di sana.”
Mendengar keraguan Garvi, Amara berusaha lebih lembut. “Bunda tahu, keadaan ini pasti sulit buat kamu. Tapi bunda ga mau lewatin hari, bunda mau kamu hadir juga. Bunda janji, ga bakalan biarin mereka ngasih luka lagi buat kamu."
Garvi terdiam sejenak, meresapi kata-kata Bunda yang terdengar meyakinkan. Meski hatinya masih dipenuhi keraguan, ia merasa tidak ada salahnya mencoba untuk menyetujui keinginan Bunda itu.
“Ya udah, aku siap-siap dulu." Putusnya.
Dia berharap, kali ini apa yang dikatakan Bunda benar-benar akan terwujud. Mereka tidak akan membuatnya sakit lagi akibat upacapan mereka.
~~~
Makan malam merayakan ulang tahun Amara berlangsung dengan hangat, dan benar sesuai janji bundanya, semua berjalan dengan tenang tanpa ada ucapan menyakitkan yang keluar dari mulut keluarga ayah tirinya itu. Garvi tentu merasa lega.
Perasaan senang muncul saat melihat bunda terlihat bahagia, suasana yang lama tidak ia rasakan. Namun, keceriaan itu hanya bertahan sejenak. Setelah acara selesai, Amara memaksa Garvi untuk menginap karena di luar sedang hujan lebat. Itu artinya ia harus berada di rumah ini sampai esok. Meski ragu, tanpa ada pilihan lain akhirnya ia setuju.
Setelah memastikan semua orang masuk ke kamar masing-masing. Akhirnya Garvi bisa bernapas sedikit lebih lega. Di dalam kamar, dirinya berusaha untuk merasa tenang dan nyaman di rumah yang sebelumnya membuatnya cemas. Namun nyatanya, ketenangan yang ia harapkan itu tidak bertahan lama.
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. Garvi melihat Gio berdiri di ambang pintu lalu melangkah masuk dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Oh lagi mau minum obat ya? Mau gue bantu?” tanya Gio, nada suaranya terdengar mencolok, seolah ada niat tersembunyi di balik pertanyaannya.
Garvi yang memang bersiap meminum obat rutinnya, merasa sedikit terganggu. “Gue bisa sendiri,” jawabnya tegas, berusaha menunjukkan ketidakpeduliannya pada kehadiran Gio.
Namun, Gio tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mundur. Dia mendekat, mengawasi Garvi dengan tatapan tajam. “Kenapa lo ga minum lebih banyak aja? Biar cepet sembuh,” katanya lagi.
Garvi mencoba menghiraukan ucapan Gio dan tetap fokus pada obatnya, tetapi lelaki itu semakin mendekat, meraih botol obat dari tangannya. “Biar gue bantu!” serunya.
“Gio, balikin!” Garvi berusaha merebutnya, tetapi sudah terlambat, Gio mengeluarkan beberapa butir obat dan mendekatkan tangan ke arah Garvi seolah ingin memaksanya minum obat lebih banyak dari yang seharusnya.
Kepanikan mulai melanda Garvi. Dia tahu betul betapa pentingnya pengaturan dosis obat yang harus ia minum. Dalam hati, ia berdoa agar situasi ini segera berakhir.
Garvi mulai merasakan detak jantungnya semakin cepat saat Gio mendekat. Tanpa peringatan, Gio memaksa Garvi untuk membuka mulutnya. “Ayo, minum ini! Lo butuh lebih banyak,” katanya dengan nada memaksa, lalu dengan kasar Gio segera memasukkan semua obat itu ke dalam mulut Garvi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garvitara
FanfictionIni hanya kisah seorang Garvitara yang mencoba menjadi bintang kebanggaan seperti yang diharapkan bunda. Disclaimer: ☆ 100% fiksi ☆ Slow update ☆ Terdapat kata-kata kasar/umpatan⚠️ ☆ Jika ada kesamaan nama tokoh, latar tempat maupun alur itu murni k...