19. Lost to the Darkness

4.6K 369 4
                                    

Setelah menunggu selama 20 menit, akhirnya Juan mengabari bahwa dirinya sudah hampir sampai di depan gerbang. Garvi yang mengetahui itu segera beranjak dari duduknya. Hujan masih turun, menciptakan suara ritmis yang menenangkan, meski suasana hati Garvi sedikit terganggu. Setelah berpamitan dengan bunda, dia segera berjalan menuju mobil Juan.

Begitu memasuki mobil, Garvi merasakan hangatnya kabin dan aroma familiar yang menenangkan. Juan menatapnya dengan cermat dan bertanya. "Itu muka lo kenapa? Udah kaya ga makan satu minggu."

Garvi menghela napas, mencoba untyk tidak terkalu menampakkan rasa tidak enaknya. "Kepala gue sakit lagi." jawabnya pelan.

Juan mengangguk, sebenarnya dia khawatir dengan sahabatnya itu. Tanpa lama, Juan segera menghidupkan mesin mobil dan perlahan mengemudikannya, sementara Garvi menyandarkan kepala di jok dan menutup matanya. Dalam suasana tenang yang ditemani suara hujan di atap mobil, dia berharap bisa meredakan rasa sakitnya dan sejenak melupakan semuanya.

Juan menatap Garvi dengan cermat, lalu bertanya, "Udah lemes gitu kenapa ga nginep aja sih? bukannya bokap lo ga ada di rumah ya? Terus nanti di rumah sama siapa?"

Garvi menghela napas, merasa sedikit frustrasi. "Gue ga mau bahas itu dulu," jawabnya pelan. "Kepala gue benaran sakit, gue mau tidur sebentar. Bangunin kalau udah sampe."

Juan mengangguk, memahami keadaan Garvi. Dia melanjutkan berkendara, mencoba menciptakan suasana yang tenang agar Garvi bisa beristirahat. Di dalam mobil, suara hujan semakin deras, namun pikiran Garvi tetap fokus pada harapannya untuk merasa lebih baik saat terbangun nanti.

Namun, belum lama Garvi terlelap, ia terbangun tiba-tiba ketika mobil Juan melakukan rem mendadak, disertai pekikan klakson yang nyaring. Jantungnya berdegup kencang, dan seketika itu pula, kenangan traumatis menghantamnya. Suasana hujan, suara klakson bersahutan, serta bayangan tabrakan yang tak terhindarkan, semua itu menggelapkan pikirannya. Darah yang tumpah dan ketakutan yang mendalam membuatnya terperangkap dalam mimpi buruk.

Di sisi lain, Juan terlihat kesal, memaki karena pengendara di depan berhenti mendadak. Namun Garvi tidak mendengar apa-apa selain gema ketakutannya. Ia mulai panik, perasaan tak berdaya menguasai dirinya. Setiap detik terasa menyiksa, seolah ia terjebak dalam siklus kenangan mengerikan itu.

Juan, yang menyadari ada yang tidak bares dengan sahabatnya itu merasa bingung.

"Lo kenapa?" teriaknya, berusaha meraih perhatian Garvi yang tampak jauh di dalam pikirannya. Suasana di dalam mobil menjadi tegang, menciptakan jarak yang semakin dalam antara mereka.

Juan merasa cemas melihat Garvi yang semakin gemeteran, wajahnya pucat dan matanya penuh ketakutan. "Gar, kenapa??" tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.

Namun, Garvi terus memanggil, "Ibu... tolong!" Suaranya bergetar, dan paniknya semakin jelas terlihat. Dia seolah terjebak dalam dunia yang gelap, tak mampu mendengar Juan.

Menyaksikan kondisi sahabatnya yang tidak baik, Juan segera memutuskan untuk menepikan mobil. Dia mengarahkan kendaraan ke pinggir jalan, memastikan untuk berhenti dengan aman.

"Gar! Coba tenang dulu!" ujarnya lembut sambil mematikan mesin.

Juan berusaha meraih tangan Garvi yang gemetar, berharap bisa mengembalikan fokus Garvi.

"Ini gue harus gimana? Jangan bikin gue panik anjir, Gar! coba napas yang bener, pelan-pelan." Juan benar-bebar panik sekarang.

Di tengah kebingungannya, tiba-tiba, suara dering ponsel Garvi memecah kesunyian. Juan segera meraih ponsel itu, melihat nama kakak Garvi muncul di layar.

"Kebetulan!" Pekiknya, harapan muncul di benaknya.

Dengan cepat, Juan mengangkat telepon itu.

"Halo, bang? ini gue Juan."

Garvitara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang