6. The Blame Game

8.3K 554 8
                                        

○•°•°•°•°○

Yudhis melangkah cepat di sepanjang koridor rumah sakit, derap sepatunya menggema di lantai yang dingin. Ia harusnya bertemu dengan kedua anaknya malam ini, bertemu di acara keluarganya. Namun, rencana itu hancur seketika begitu ponselnya bergetar di saku jasnya. 

Panggilan masuk. Nama Sangga tertera di layar. Anak sulungnya itu mengabari jika dirinya membawa Garvi ke rumah sakit. 

Hanya itu yang ia dengar sebelum pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Sesuatu telah terjadi, sesuatu yang cukup serius hingga membuat Sangga harus bertindak secepat itu. 

Yudhis tidak menunggu lebih lama. Ia mempercepat langkahnya, melewati perawat dan pengunjung lain yang berpapasan dengannya tanpa memedulikan tatapan heran mereka. Koridor terasa lebih panjang dari biasanya, setiap detik yang berlalu hanya menambah kegelisahannya. 

Sesampainya di sana, Yudhis segera menangkap sosok Sangga yang duduk di salah satu bangku, punggungnya sedikit membungkuk, tangan saling menggenggam di antara lutut. Wajah pemuda itu terlihat cemas, menandakan sesuatu yang tidak beres.

Tanpa membuang waktu, Yudhis mendekat. “Sangga.”

Sangga menoleh cepat, seolah baru tersadar dari lamunannya.

“Ada apa dengan Garvi?” Suara Yudhis terdengar tegas, meski ada kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan.

Sangga menelan ludah sebelum menjawab, “Belum tau, nunggu hasil CT scan .”

Dahi Yudhis berkerut, tubuhnya menegang seketika. CT scan? Apa kondisinya benar-benar separah itu hingga membutuhkan pemeriksaan seperti itu?

Ia hampir membuka mulut untuk bertanya lebih jauh, tetapi langkah cepat yang terdengar mendekat membuatnya menoleh. Seorang wanita baru saja tiba dengan napas terengah-engah, wajahnya dipenuhi kepanikan yang jelas tak bisa disembunyikan.

Amara.

Tatapannya segera beralih pada Sangga. “Ada apa dengan Garvi?!” Suaranya bergetar, matanya penuh kekhawatiran.

Namun, lagi-lagi, sebelum Sangga sempat memberikan jawaban, suara lain menyela.

“Wali pasien Garvitara Rahandika?”

Mereka bertiga menoleh hampir bersamaan. Seorang dokter berdiri tak jauh dari mereka, ekspresinya serius.

“Mohon ikut ke ruangan saya. Saya akan menjelaskan hasil pemeriksaannya.”

Suasana ruang dokter terasa sunyi, tetapi ada ketegangan yang begitu kental di dalamnya. Yudhis duduk tegap di kursinya, sorot matanya serius saat menatap dokter di hadapannya. Amara duduk di sampingnya, wajahnya dipenuhi kecemasan.

Dokter membuka berkas medis di mejanya, lalu mengangkat pandangan ke arah Yudhis dan Amara. Suaranya tenang tetapi tegas saat mulai menjelaskan kondisi Garvi.

“Ketika Garvi tiba di rumah sakit, kondisinya cukup mengkhawatirkan. Ia datang dalam keadaan kesadaran menurun, dengan respons yang sangat lambat. Kami juga mendeteksi adanya defisit neurologis yang menunjukkan potensi masalah serius pada otaknya.”

Amara menahan napas, pandangannya tidak lepas dari dokter.

"Karena tidak ada riwayat medis yang bisa kami pegang, kami langsung melakukan CT scan untuk memastikan penyebabnya.”

Dokter beralih ke layar yang menampilkan hasil pemindaian dengan satu titik yang disoroti. “Dari hasil pemeriksaan ini, kami menemukan adanya pendarahan di dalam otaknya.”

“Bisa dilihat ada area yang tampak lebih gelap dibandingkan jaringan otak normal. Ini menunjukkan bahwa perdarahan sudah terjadi beberapa waktu lalu, kemungkinan beberapa hari yang lalu, karena tubuh sudah mulai menyerap darah yang keluar. Jika ini adalah perdarahan baru, seharusnya tampilannya lebih terang di CT scan.”

Yudhis menegang. “Jadi, pendarahan ini bukan baru terjadi?”

Dokter mengangguk. “Benar, gejala awalnya mungkin hanya sakit kepala ringan atau pusing, jadi wajar jika pasien menyepelekannya. Padahal, itu bisa menjadi tanda awal perdarahan kecil di otak. Seiring waktu, darah yang terkumpul mulai menekan jaringan otak, menyebabkan peningkatan tekanan dalam tengkorak. Inilah yang akhirnya membuat kondisinya memburuk hingga penurunan kesadaran seperti sekarang.”

“Jadi, tindakan apa yang harus dilakukan sekarang?” Suara Amara terdengar parau saat bertanya.

Dokter menarik napas dalam sebelum menjawab, suaranya tetap tenang namun tegas.

“Kondisi Garvi mengharuskan kami untuk melakukan kraniotomi sesegera mungkin,” jelasnya. “Ini adalah prosedur bedah di mana kami akan membuka sebagian kecil tulang tengkoraknya untuk mengakses area pendarahan dan menghentikannya sebelum tekanan dalam otak semakin meningkat. Jika tidak segera ditangani, risiko pembengkakan otak dan kerusakan permanen bisa terjadi.”

Dokter kembali menatap layar hasil CT scan. “Saat ini, pendarahannya sudah cukup signifikan dan menekan jaringan otak di sekitarnya. Kami tidak bisa menunggu lebih lama.”

Yudhis mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras menahan ketegangan. Tanpa ragu, ia berkata, ”Kalau begitu, lakukan operasinya sekarang juga.”

Dokter menatapnya dengan ekspresi serius sebelum menghela napas. ”Kami ingin segera menanganinya, Pak, tapi saat ini semua ruang operasi dan tim bedah saraf sedang menangani operasi darurat lainnya. Kami tidak memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan secepat yang diperlukan.”

Yudhis mengatupkan bibirnya rapat, sementara Amara tampak membeku di tempatnya. 

Dokter melanjutkan, ”Karena itu, kami sangat menyarankan untuk merujuk Garvi ke rumah sakit lain yang memiliki fasilitas lebih lengkap dan tim bedah yang bisa langsung menangani operasinya. Jika Bapak dan Ibu setuju, kami akan segera mengurus proses pemindahannya agar tidak membuang waktu lebih lama.”

Amara menatap Yudhis, mencari jawaban. Mereka tidak ada pilihan lain, mereka harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat.

○•°•°•°•°○


Keluar dari ruang dokter, Yudhis dan Amara berjalan dengan langkah cepat menuju IGD, tempat Garvi masih terbaring. Ketegangan menggantung di antara mereka, masing-masing masih dipenuhi dengan emosi dari apa yang baru saja mereka dengar.

Begitu mereka sampai, mata Yudhis langsung tertuju pada sosok Garvi yang terbaring di ranjang dengan wajah pucat dan alat medis yang terus memantau kondisinya. Dadanya terasa sesak melihat anaknya dalam keadaan seperti itu. Tapi yang lebih membuat darahnya mendidih adalah kenyataan bahwa cedera ini bukan sesuatu yang baru terjadi.

Ia berbalik menatap Amara, tatapannya tajam. “Kamu bahkan tidak tahu kalau anakmu mengalami cedera kepala?” suaranya terdengar dingin, tapi penuh kemarahan yang ditahan.

Amara membelalak, terkejut dengan tuduhan itu. “Apa maksudmu? Aku bahkan baru tahu ketika Sangga menelpon! Kalau aku tahu lebih awal, tentu aku akan segera membawanya ke dokter!”

“Itu masalahnya, Amara!” Yudhis membentak, emosinya akhirnya meledak. “Kamu seharusnya tahu! Kamu yang selama ini bersamanya. Berbeda denganku yang tidak tinggal bersamanya. Kamu seharusnya lebih peka! Cedera kepala bukan hal sepele, dan sekarang lihat akibatnya!”

"Jadi menurutmu ini semua salahku?" Amara bertanya dengan suara yang bergetar, namun penuh emosi yang tidak bisa disembunyikan. "Bukannya Garvi beberapa hari ini mulai tinggal denganmu? Kamu juga bahkan tidak menyadari ada hal yang tidak beres, kan?"

Yudhis terdiam sejenak, kata-kata Amara mengena. Meskipun dia tahu bahwa Amara memiliki hak untuk merasa terluka, dia juga tak bisa menahan perasaan kecewanya. Garvi tinggal bersamanya selama beberapa hari terakhir, tapi dia tak pernah menduga ada sesuatu yang serius terjadi pada anaknya.

“Aku-“

“Di situasi seperti ini, kalian masih sempat saling menyalahkan? Apa tidak malu?” Sangga memotong ucapan Yudhis dengan suara yang penuh kemarahan yang terpendam. Dirinya baru saja kembali setelah keluar untuk menelepon seseorang. Namun, ketika dia memasuki ruangan IGD, dia langsung mendapati Amara dan Yudhis yang sedang saling menyalahkan. Melihat itu, emosinya meledak.

“Garvi butuh kalian berdua sekarang, bukan pertengkaran seperti ini.” Sangga melanjutkan, suaranya dingin dan tajam, namun penuh keprihatinan. “Jangan sampai dia tahu kalian lebih sibuk mencari siapa yang lebih salah daripada mencari cara untuk menyelamatkannya.”

Kata-kata itu langsung menghentikan perdebatan mereka. Yudhis dan Amara terdiam, menyadari betapa egoisnya mereka dengan terus saling menyalahkan di saat anak mereka terbaring tak berdaya. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir mereka. Hanya hening yang mengisi ruang itu sejenak.

Di tengah kekacauan dan kebingungan mereka, ada satu hal yang lebih mengerikan dari rasa takut itu. Kenyataan bahwa mereka telah gagal mengenali masalah sejak awal.

○•°•°•°•°○
—To be continued—

Garvitara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang