Garvi perlahan mulai membuka matanya. Rasanya seperti baru saja terbangun dari tidur panjang yang sangat lelap. Kepalanya sedikit pusing, dan tubuhnya terasa lemah, tapi yang paling membuatnya bingung adalah kenyataan bahwa ia merasa berbeda. Suasana di sekitarnya terasa tenang, hangat, jauh dari hiruk-pikuk yang biasa mengelilinginya. Matanya berkedip-kedip, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang lembut masuk melalui tirai jendela rumah sakit.
Ia menoleh dan mendapati sosok ayahnya duduk di samping ranjang, menatapnya dengan penuh perhatian. Garvi tertegun, memandangi sosok pria yang biasanya sulit dijangkau oleh kehadirannya, yang selama ini lebih sering sibuk dengan pekerjaannya. Ia terkejut sekaligus bingung.
"Ayah?" tanyanya pelan, suara serak, seolah takut memecahkan keheningan. Ayahnya tersenyum lembut, lebih lembut dari yang pernah ia lihat sebelumnya.
"Syukurlah, kamu sudah sadar," ujar sang ayah dengan suara penuh kehangatan. "Kamu sempat pingsan, dan kami sempat khawatir." Lanjutnya dengan nada hangat.
Garvi mengerjap, mencoba memahami situasi. Rasanya seperti ia baru saja bangun dari tidur yang sangat lama, dan kehadiran ayahnya di sini terasa seperti sebuah kejanggalan. Pekerjaan ayahnya bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan dengan mudah, bukankah itu selalu menjadi alasan kenapa mereka jarang bertemu?
Garvi kebingungan, berusaha mengingat.
"Sejak kapan Ayah pulang?" tanyanya dengan suara pelan. Ia sangat ingat bahwa ayahnya belum lama ini baru berangkat ke luar negeri untuk urusan pekerjaan lagi. Bukannya perjalanan yang dibutuhkan biasanya memakan waktu lama? Namun, kini, ayahnya tiba-tiba saja ada di sana, di samping ranjang rumah sakitnya.
Sebelum ayahnya bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat. Garvi menoleh, dan sekejap matanya terbelalak saat melihat sosok lain yang tak kalah mengejutkan. Ia melihat sosok bundanya, yang berjalan masuk dengan membawa segelas air hangat.
Garvi tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat kedua orang tuanya di sana, duduk bersama dengan tenang. Mereka berbicara satu sama lain, saling tersenyum dan tampak begitu harmonis, jauh dari sikap mereka yang biasanya penuh ketegangan setiap kali bertemu.
Dalam pikirannya, timbul pertanyaan yang berkecamuk, berapa lama sebenarnya ia tertidur? Bagaimana mungkin keadaan bisa berubah secepat ini?
Garvi terdiam, kebingungannya semakin mendalam. "Bunda... Ayah..." ia bergumam, tak bisa menyembunyikan kebingungannya. "Kalian... bersama? Sejak kapan?"
Ayah dan bunda saling bertukar pandang sejenak, lalu mereka duduk di sisi ranjangnya. "Kami selalu ada untukmu, Garvi," jawab Bunda dengan suara yang menenangkan, menyentuh tangannya yang terkulai di atas selimut.
Garvi memandang mereka berdua, wajah kedua orang tuanya yang selama ini sering terlibat dalam perselisihan kini terlihat begitu akrab dan harmonis, jauh dari konflik yang pernah ada di antara mereka. Mereka tertawa kecil bersama, berbicara dengan penuh kehangatan. Tidak ada lagi ketegangan yang biasa ia rasakan. Momen itu terasa sangat asing bagi Garvi, namun juga menenangkan. Ia merasa seperti berada dalam sebuah kehangatan keluarga yang penuh kasih.
Namun, dalam kepalanya, ada perasaan yang mengganjal. Sesuatu terasa salah. Dengan pelan, Garvi mulai mengedipkan matanya lagi, berusaha mengingat lebih jelas. Tiba-tiba, semuanya terasa kabur, seolah-olah dunia ini mulai menghilang dari penglihatannya.
Ketika ia membuka mata kembali, suasana berubah drastis. Alih-alih suasana hangat, ia berada di dalam ruangan rumah sakit yang sepi dan dingin. Rasa pusing kembali datang, dan Garvi menyadari bahwa tubuhnya masih terbaring di ranjang rumah sakit yang sama. Seseorang duduk di sampingnya. Bukan ayahnya melainkan Sangga, kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garvitara
FanfictionIni hanya kisah seorang Garvitara yang mencoba menjadi bintang kebanggaan seperti yang diharapkan bunda. Disclaimer: ☆ 100% fiksi ☆ Slow update ☆ Terdapat kata-kata kasar/umpatan⚠️ ☆ Jika ada kesamaan nama tokoh, latar tempat maupun alur itu murni k...