5. Overlooked Signs

7.6K 546 5
                                    

○•°•°•°•°○

Suasana ruang diskusi di lantai dua perpustakaan kampus dipenuhi suara ketikan laptop dan sesekali gumaman diskusi. Beberapa kelompok mahasiswa tampak sibuk menyusun laporan mereka, termasuk Garvi dan teman-temannya yang sedang menyelesaikan tugas presentasi. 

Garvi bersandar di kursinya, mencoba membaca ulang bagian yang baru saja ia ketik di laptop. Namun, huruf-huruf di layar terasa kabur. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha mengusir sensasi aneh di kepalanya. 

“Gar, bagian ini lo yang jelasin, ya?” tanya Raka, ketua kelompoknya, sambil menunjuk layar laptop. 

“Hm?” Garvi menoleh, tapi butuh beberapa detik untuk memahami apa yang baru saja dikatakan Raka. Fokusnya buyar, pikirannya terasa berantakan. Ia menghela napas, mengangguk pelan. “Iya, gue yang jelasin…” 

Namun, saat ia mencoba kembali membaca materinya, rasa berat di kepalanya semakin menjadi. Seperti ada tekanan tumpul yang menekan bagian belakang tengkoraknya. Pandangannya sedikit berbayang, dan suara-suara di sekelilingnya mulai terdengar seperti gema yang jauh. 

Juan melirik Garvi yang sejak tadi terlihat lebih diam dari biasanya. "Lo oke?" tanyanya, nada suaranya mengandung kekhawatiran.

Garvi mengangguk kecil, meski dalam hati ia tahu tubuhnya tidak benar-benar baik-baik saja. "Oke.” jawabnya singkat, berusaha meyakinkan.

Namun, Raka yang duduk di seberangnya tidak begitu saja percaya. Sebagai ketua kelompok, ia cukup peka terhadap kondisi teman-temannya. Dari tadi, ia melihat Garvi beberapa kali memijat pelipisnya dan tampak kesulitan fokus. Mukanya juga lebih pucat dari biasanya.

"Udah sore juga," kata Raka, melirik jam di laptopnya. "Mending lo pulang aja, Gar. Lo keliatan gak enak badan."

Garvi membuka mulut, ingin membantah. Ia tidak mau kerja kelompok mereka terhenti hanya karena dirinya. Masih banyak yang harus diselesaikan, dan ia tidak suka kalau sampai merepotkan teman-temannya.

"Tapi—"

Begitu ia bergerak sedikit, rasa pusing tiba-tiba menghantam kepalanya. Dunia di sekelilingnya seakan berputar, membuatnya refleks memejamkan mata.

Juan dan Raka langsung bertukar pandang, lalu Juan mencondongkan tubuhnya sedikit. "Mau gue anter pulang ga?" tawarnya.

Garvi menelan ludah, mencoba tetap tenang meski kepalanya masih terasa berat. "Gak usah," ujarnya pelan. "Gue pesan ojol aja."

Juan masih tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Yaudah, nanti lo mending istirahat di rumah biar bisa ikut presentasi. Gue ga bisa gantiin bagian lo nanti kalau lo ga masuk gara-gara sakit." ujarnya setengah bercanda.

Raka ikut menimpali, mencoba meringankan suasana. "Iya, kalau lo ga masuk, nanti gue tunjuk Juan buat bacain bagian lo."

Juan langsung mendelik. "Eh, jangan gue dong! Gue udah cukup beban sama bagian gue sendiri!"

Garvi seharusnya tertawa, tapi saat ini ia bahkan tidak punya cukup tenaga untuk meladeni candaan mereka. Ia hanya menghela napas pelan, akhirnya menyerah. "Yaudah," katanya lemah. "Maaf ya, gue balik duluan."

Raka menggeleng. "Udahlah, ga usah mikirin itu. Yang penting lo istirahat."

Garvi hanya mengangguk, lalu mulai membereskan barang-barangnya meski gerakannya terasa lebih lambat dari biasanya. Setelah itu melangkah pelan menuju area parkiran untuk memesan ojek online. Di dalam hatinya, ia tahu tubuhnya sedang tidak baik-baik saja. Tapi seperti biasanya, ia memilih mengabaikannya. 

Garvitara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang