○•°•°•°•°○
Garvi mengerjapkan mata, meraih ponsel di sampingnya, lalu menghela napas saat melihat puluhan notifikasi dari grup chat angkatannya. Matanya langsung tertuju pada pesan terbaru—pengumuman wajib hadir untuk hari terakhir Porsema. Acara dimulai pukul delapan, dan sekarang sudah lewat tujuh.
“Telat.” gumamnya, buru-buru bangkit dari tempat tidur.
Ia segera menuju kamar mandi, mandi secepat mungkin, lalu mengenakan pakaian seadanya. Setelah memastikan tasnya sudah berisi semua yang ia butuhkan, ia bergegas keluar kamar.
Saat membuka pintu, langkahnya terhenti. Tepat saat itu, pintu di seberang juga terbuka, dan Sangga muncul dari dalam. Sekilas, pandangan mereka bertemu, namun Garvi segera mengalihkan tatapannya dan memilih pergi tanpa sepatah kata.
Pertemuan pertama mereka tadi malam masih terasa canggung, terlalu banyak emosi yang bercampur menjadi satu.
“Mau ke mana lo?” Suara Sangga menghentikan langkahnya. “Ga usah cari tempat lain. Ayah bisa marah kalau tau lo beneran pergi dari sini.”
Garvi menoleh, menatap kakaknya yang kini berdiri dengan ekspresi sulit diterka. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Garvi sedikit ragu.
“Lo ga keberatan gue tinggal di sini, Kak?” tanyanya hati-hati.
“Dari awal ga ada yang bilang keberatan.” Sangga mengedikkan bahunya santai.
“Oke! Jadi gue boleh tinggal di sini, kan?” Garvi bertanya dengan nada lebih antusias.
Sangga mengangguk tanpa banyak bicara, lalu berjalan mendahului. Namun, baru beberapa langkah, ia berhenti dan kembali menoleh.
“Lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Kalau mau keluar, jangan pulang terlalu malam. Ayah kemungkinan sampai malam ini.”
Garvi menghela napas. “Ya ke kampus lah, mau ke mana lagi? Tapi kayaknya gue bakal sampai malem.”
Sangga mengernyit. “Lo kuliah?”Garvi melotot kesal. “Bunda ga semiskin itu buat kuliahin gue.”
“Bukan itu maksud gue. Gue Cuma kaget… lo udah kuliah? Tampang lo masih kayak bocil SMA.”
Geram, Garvi melipat tangan di dada. “Lo bilang gue bocil?”Sangga terkekeh ringan. “Tuh kan, bocil langsung ngamuk.” Tanpa menunggu balasan, ia langsung berbalik dan berjalan pergi.
Garvi mendengus kesal. Kakaknya masih sama seperti dulu saat mereka masih baik-baik saja. Menyebalkan.
Saat melewati ruang tamu, Bi Ratna memanggilnya dan menawarkan sarapan.Garvi menggeleng. “Engga dulu, Bi.” ucapnya cepat. Ia tak punya waktu, dan perutnya terasa tak nyaman sejak tadi pagi.
Setelah tiba di kampus, Garvi langsung menuju gedung olahraga. Kelasnya akan bertanding di final basket, dan ia tidak mau melewatkan pertandingan itu.
Begitu sampai, ia langsung mengarah ke tribun barat, tempat teman-temannya sudah berkumpul. Setelah menemukan bangku kosong yang cukup untuk dirinya dan Juan, Garvi duduk lalu merogoh saku celananya, mengambil ponsel. Ia mengetik cepat, mengabari Juan tentang tempat duduk mereka, sebelum akhirnya membuka bungkus roti yang tadi ia ambil dari rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Garvitara [END]
General FictionHanya sebuah kisah tentang kehilangan, pengkhianatan, dan perjuangan untuk bertahan hidup, karena kadang, bertahan adalah bentuk cinta terbesar yang bisa kita berikan untuk diri sendiri. Disclaimer: ☆ 100% fiksi ☆ Slow update ☆ Terdapat kata-kata ka...