Pintu ruang operasi terbuka perlahan, diikuti langkah seorang dokter yang keluar dengan napas panjang. Maskernya sudah ia tarik ke bawah, memperlihatkan wajahnya yang tetap tenang meskipun ada sedikit kelelahan di matanya.
“Wali dari Garvi?” tanya dokter itu dengan suara tenang.
Yudhis, yang sejak tadi menunggu di ruang tunggu langsung berdiri dan menghampirinya. “Iya, saya. Bagaimana operasinya?” tanyanya.
Dokter itu menatap Yudhis dengan tenang sebelum menjawab. “Operasi telah selesai. Kami berhasil menghentikan pendarahan yang terjadi di otaknya dan mengatasi tekanan intrakranial yang meningkat. Tidak ada komplikasi serius selama prosedur, dan kami telah memastikan jaringan yang terdampak mendapat penanganan optimal.”
"Jadi, bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Yudhis dengan cemas.
"Saat ini, Garvi masih dalam pengaruh anestesi dan akan kami tempatkan di ICU untuk pemantauan ketat. Kami akan terus mengevaluasi respons neurologisnya dalam beberapa jam ke depan. Jika kondisinya stabil, kami bisa mulai mengurangi penggunaan ventilator secara bertahap. Namun, beberapa risiko tetap harus kita waspadai, seperti pembengkakan otak atau gangguan kesadaran yang mungkin terjadi pascaoperasi."
Yudhis mengangguk, mencoba mencerna informasi yang diberikan. “Jadi, untuk saat ini kita hanya bisa menunggu?”
Dokter itu mengangguk. “Benar. Kami akan melakukan pemeriksaan berkala, termasuk CT scan lanjutan jika diperlukan, untuk memastikan tidak ada perdarahan lanjutan atau komplikasi lain. Jika ada perkembangan apa pun, saya akan segera mengabari Anda.”
Setelah menjelaskan kondisi Garvi, Dokter itu memperhatikan ekspresi Yudhis yang terlihat masih cemas. Baru saat itu ia teringat sesuatu.
“Oh, hampir lupa,” ujar dokter itu. “Sepertinya ini pertama kali bertemu. Sebelumnya, saya sempat berdiskusi dengan Ibu Amara sebelum operasi dimulai, tetapi saya belum sempat bertemu dengan Anda.”
Yudhis mengerutkan kening sejenak sebelum mengangguk. “Ya, saya tadi sempat keluar untuk mengurus administrasi.”
Dokter itu mengulurkan tangannya dengan ramah. “Saya Arya, dokter bedah saraf yang menangani Garvi. Mulai sekarang, saya juga yang akan mengawasi perawatan dan pemulihannya.”
Yudhis menerima uluran tangan itu dan menjabatnya dengan erat. “Yudhis. Saya ayah Garvi.”
“Senang bertemu dengan Anda, Pak Yudhis.” Dokter Arya mengangguk kecil sebelum melanjutkan, “Saya tahu situasi ini pasti berat bagi Anda, tapi kami akan melakukan yang terbaik untuk memastikan Garvi mendapat perawatan optimal.”
Yudhis menghembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan diri. “Terima kasih, Dokter. Saya hanya ingin memastikan anak saya mendapat perawatan terbaik.”
Dokter Arya memberi anggukan meyakinkan. “Tentu. Jika ada pertanyaan atau kekhawatiran apa pun, jangan ragu untuk bertanya. Untuk saat ini, Garvi akan tetap di ICU, dan kami akan memantaunya secara ketat. Saya akan segera menghubungi Anda jika ada perkembangan lebih lanjut.”
Dengan itu, dokter Arya pamit untuk kembali ke ruangannya, meninggalkan Yudhis yang masih berdiri di tempatnya. Meskipun hatinya masih penuh kecemasan, setidaknya ia tahu bahwa anaknya berada di tangan yang tepat.
Tak lama setelah dokter Arya pergi, langkah cepat terdengar di lorong rumah sakit. Sangga muncul dengan memakai pakaian scrub yang baru diganti setelah sempat kembali ke apartemen. Wajahnya terlihat sedikit lelah, tapi sorot matanya tetap fokus.
Begitu melihat Yudhis berdiri di ruang tunggu, ia langsung mendekat. “Gimana operasinya, Yah?” tanyanya tanpa basa-basi.
Yudhis menghela napas sebelum menjawab. “Sudah selesai. Kata dokter, pendarahannya sudah ditangani dan sekarang Garvi dipindahkan ke ICU untuk observasi.”
Sangga mengangguk, mencerna informasi itu dengan cepat. Tatapannya sedikit melembut, lega mendengar bahwa operasi adiknya berjalan lancar. Namun, ia juga tahu bahwa fase kritis belum sepenuhnya berakhir.
“Ayah pulang aja,” ujar Sangga kemudian. “Di ICU juga ga bisa dijaga keluarga. Malem ini aku bagian shift malam, bisa sambil pantau kondisi Garvi sekalian jaga.”
Yudhis menatap Sangga sejenak, seolah masih ragu untuk benar-benar pergi. Namun, akhirnya ia mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau ada apa-apa, kabari Ayah segera.”
“Iya, pasti.” jawab Sangga mantap.
Tanpa banyak kata lagi, Yudhis pun berbalik dan berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Langkahnya sedikit berat, tapi ia tahu tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain menunggu kabar dari Sangga dan dokter yang menangani Garvi.
Sementara itu, Sangga menghela napas sebelum melirik jam di pergelangan tangannya. Waktunya kembali ke IGD. Dengan langkah cepat, ia menyusuri koridor rumah sakit yang masih cukup sibuk meski sudah larut malam.Berbicara tentang Garvi, akhirnya ia dipindahkan ke rumah sakit tempat Sangga menjalani koas. Keputusan itu diambil setelah Yudhis mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk Sangga bisa turut memantau keadaan adiknya secara langsung.
Meski Sangga tidak bisa ikut campur dalam keputusan medis sebagai seorang koas, setidaknya ia ada di dekat Garvi, melihat sendiri setiap perkembangan yang terjadi, dan tidak hanya menunggu kabar dari kejauhan.
Begitu tiba di IGD, Sangga segera mengenakan maskernya, lalu berjalan menuju meja perawat untuk melihat daftar pasien yang masih dalam perawatan.
Sangga menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk melewati malam yang panjang. Di satu sisi, pikirannya masih berada di ICU bersama Garvi, tapi di sisi lain, ia harus tetap fokus pada tugasnya sebagai koas di IGD malam ini.
Di nurse station IGD, Sangga tengah mencatat laporan pasien ketika telepon di depannya berdering. Ia segera mengangkatnya.
“Selamat malam, dari unit Instalasi Gawat Darurat. Ada yang bisa kami bantu?”
Di seberang, suara familiar terdengar. “Sangga? ini gue Adit dari ICU. Mau tanya, di situ ada perawat ga?”
Sangga melirik sekitar dan menggeleng. “lagi pada muter visit pasien. Kenapa?”
“Ada hasil lab cito yang tadi dititipin ke perawat buat dibawa ke ICU, tapi belum sampai. Dokter udah nanyain.”
Sangga melirik beberapa amplop di meja, lalu bertanya, “Atas nama siapa?”
“Garvitara Rahandika.”
Tangannya yang baru saja hendak merapikan berkas mendadak terhenti. Ia menarik napas singkat, matanya tertuju pada satu amplop dengan nama adiknya tertera di sana.
“Ada di sini. Gue anter sekalian.”
Sebelum ia sempat beranjak, seorang perawat datang tergesa ke nurse station, matanya sibuk menyisir meja.
“Cari hasil lab?” tanya Sangga.
Perawat itu mengangkat wajah dan mengangguk. “Iya, yang cito buat ICU.”
Sangga mengangkat amplop di tangannya. “Biar saya aja yang anter.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar dan berjalan menuju ICU. Begitu sampai, ia melihat Adit yang baru saja keluar dari ruang perawatan.
“Titipan.” ujar Sangga, menyerahkan amplop hasil lab kepada Adit.
“Thanks.” balas Adit sambil menerima berkas itu.
Sebelum sempat berbicara lebih jauh, seorang perawat keluar dari ICU dan bertanya. “Ada yang lihat dokter Arya? Pasien di dalam saturasi oksigennya turun terus.”
“Dokter Arya lagi ke ruangannya dulu sebentar.” sahut Adit. “Saya coba teleponkan.”
Tapi pikiran Sangga langsung terarah ke satu hal. Salah satu pasien di dalam ruangan ICU itu adalah adiknya.
Tanpa sadar, ia mengepalkan tangan. “Pasien yang mana?” tanya Sangga.
Perawat itu tampak ragu sejenak sebelum melirik Adit.
Di dalam kepalanya, Sangga sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk.
○•°•°•°•°○
—To be continued—

KAMU SEDANG MEMBACA
Garvitara [END]
Aktuelle LiteraturHanya sebuah kisah tentang kehilangan, pengkhianatan, dan perjuangan untuk bertahan hidup, karena kadang, bertahan adalah bentuk cinta terbesar yang bisa kita berikan untuk diri sendiri. Disclaimer: ☆ 100% fiksi ☆ Slow update ☆ Terdapat kata-kata ka...