17. Silent Concern

4.9K 387 6
                                        

○•°•°•°•°○

Setelah melewati pekan Ujian Tengah Semester, perkulihan pun kembali dimulai. Hanya saja perkuliahan kali ini terasa lebih padat dari sebelumnya. Praktikum demi praktikum, project demi project semuanya menuntut waktu dan konsentrasi yang nyaris tak dimilikinya lagi.

Seperti pagi ini, Garvi memaksa dirinya bangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya terasa berat, seolah tak ingin bergerak dari tempat tidur. Tapi ia tahu, tidak ada pilihan lain. Agenda hari ini penuh dengan pertemuan project kelompok, dan ia tak ingin lagi tertinggal.

Kadang, rasa bersalah menyelimuti hatinya. Ia tak ingin menjadi beban bagi orang lain, namun kenyataan bahwa dia sering tertinggal membuatnya merasa kecil. Beberapa kali ia berpikir untuk kembali mengambil cuti kuliah, memberi ruang bagi tubuhnya untuk benar-benar pulih, tapi ketakutan menghantuinya. Jika ia berhenti sekarang, bunda akan kecewa padanya.

Di depan cermin, Garvi menatap wajahnya yang pucat. Matanya bengkak karena kurang tidur, tapi ia meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.

"Lo bisa." gumamnya pelan, meski di dalam hati ia tahu tubuhnya sudah memberi banyak sinyal untuk berhenti.

Seperti hari ini, Garvi terus mendorong dirinya lebih keras, duduk di depan layar laptopnya, mencoba fokus pada laporan project kelompok yang harus segera diselesaikan. Matanya menelusuri deretan kata, namun pikirannya melayang entah ke mana. Ia sudah berusaha keras, tapi konsentrasinya pecah seiring waktu. Tangannya gemetar perlahan, tanda bahwa tubuhnya mulai kelelahan lagi. Dulu, mengerjakan tugas seperti ini adalah hal yang mudah baginya, ia bisa menyelesaikannya tanpa merasa terbebani. Namun, sekarang, segalanya berubah.

Sejak operasi otak itu, Garvi merasa ada sesuatu yang hilang. Dirinya yang dulu cekatan dan energik seolah menguap begitu saja, digantikan oleh rasa lelah yang terus menghantui dan kepala yang sering terasa berat. Ia tak bisa fokus, tak bisa berpikir secepat dulu. Setiap kali mencoba, rasanya seperti berjalan di atas pasir hisap. Semakin ia berusaha keras, semakin tenggelam.

Seperti saat ini, mereka sedang berkumpul dengan teman kelompoknya. Duduk bersama teman-teman yang sibuk berdiskusi tentang presentasi minggu depan, ia berusaha keras mengikuti alur pembicaraan meskipun kepalanya tiba-tiba merasa pusing. Matanya menatap layar laptop, namun huruf-huruf di depannya mulai kabur. Kelelahan itu datang lagi, lebih cepat dan lebih kuat dari sebelumnya.

"Gar, lo gimana? Udah bisa bikin draft-nya?" salah satu temannya bertanya.

Dirinya terdiam sesaat. Pikirannya melayang jauh, tak sanggup merespons cepat. Ia ingin mengatakan bahwa ia sudah menyelesaikannya, tapi kenyataannya baru setengah jalan. Dia berusaha keras menelan rasa bersalah yang membengkak di dadanya.

"Ya.. hampir. Besok mungkin udah bisa gue serahin." jawabnya, dengan suara yang terdengar lebih tenang dari apa yang ia rasakan. Temannya mengangguk, kembali tenggelam dalam diskusi, sementara Garvi menunduk, menyembunyikan rasa letih yang kian menghancurkannya.

Sepulang dari kampus, energi tubuh Garvi benar-benar habis. Jalan pulang terasa jauh lebih panjang dari biasanya. Setiap langkah terasa berat, napasnya pun mulai pendek. Begitu sampai di kamar, dia langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidur, napasnya terengah-engah. Kepalanya berdenyut kencang, rasa sakit yang semakin menusuk, tapi Garvi memaksakan diri untuk tetap terjaga. Dia tahu masih banyak tugas yang menantinya malam ini, tapi tubuhnya sudah berada di titik batas.

Ketika malam semakin larut, Garvi menyalakan laptopnya lagi, menatap layar kosong dengan mata yang berat. Dia tahu tubuhnya tidak bisa terus dipaksa seperti ini, tapi bagian dari dirinya menolak berhenti. Ada ketakutan besar dalam dirinya, takut dianggap gagal, takut mengecewakan orang-orang di sekitarnya, dan takut dirinya tak akan pernah bisa kembali seperti semula.

Garvitara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang