○•°•°•°•°○
Sepasang kaki itu melangkah dengan santai, sesekali tangannya memijat bahunya yang terasa pegal. Pukul tujuh sudah lewat artinya jam jaga malamnya sudah berakhir. Rasa lelah menggelayuti tubuh Sangga, tapi sebelum pulang, ia memutuskan untuk mampir ke ICU. Langkahnya sedikit melambat saat memasuki koridor sunyi itu.
Di depan ruang ICU, ia melihat dua orang berdiri, dokter Arya dan Adit—temannya yang sepertinya sedang mengobrol serius. Begitu mendekat, Sangga menangkap sekilas percakapan mereka.
“Keluarga pasien Garvi belum datang?” tanya dokter itu, suaranya terdengar tenang tapi tegas.
Sangga yang mendengar nama adiknya disebut langsung mempercepat langkah. “Maaf, ayahnya belum bisa ke rumah sakit lagi, Dok. Kalau ada apa-apa, bisa beri tahu saya saja.”
Dokter Arya bersama Adit, menoleh ke arahnya dengan ekspresi bingung.
“Saya keluarganya juga, dok. Saya kakaknya Garvi.”
Reaksi terkejut jelas terlihat di wajah keduanya.
“Loh jadi Garvitara yang di dalam adik kamu?”
“Punya adik? Kirain ga punya.”
Melihat ekspresi keraguan mereka, Sangga hanya menghela napas kecil. Tanpa banyak bicara, ia mengangkat name tag yang tergantung di lehernya, memperlihatkan nama belakangnya dengan jelas.
“Lah, iya baru sadar beneran sama nama balakangnya.” gumam Adit, masih setengah tak percaya. Lalu, dengan nada bercanda, ia menambahkan “Gila sih, adik lo masuk ICU, tapi lo masih bisa santai jaga di IGD semalaman.”
Sangga hanya mengangkat bahu. “Emang harus gimana? Panik malah gak bisa mikir jernih.” Ia menatap Adit dengan ekspresi santai, meski ada kelelahan di matanya. “Lagian, ICU juga ga bisa ditungguin sama keluarga, kan? Daripada cuma duduk diam di depan ruang ICU, mending sambil jaga IGD. Setidaknya masih bisa ngelakuin sesuatu yang berguna.”
Adit meliriknya sejenak sebelum tertawa kecil. “Lo emang unik sih.”
Dokter Arya masih menatapnya dengan ekspresi menilai, seakan baru memahami hubungan Sangga dengan pasien yang sedang ia tangani. “Baiklah, kalau begitu. Kalau ada yang perlu dikomunikasikan ke keluarga, jika kedua orang tua kalian sulit dihubungi lagi, saya akan menghubungi kamu juga ya, Sangga.”
Sangga mengangguk. “Terima kasih, Dok.”
“Lalu bagaimana kondisi adik saya, Dok?” tanyanya, berusaha terdengar tenang meski rasa cemas masih menggelayut di pikirannya.
Dokter Arya menghela napas pelan sebelum menjawab, “Tadi sempat mengalami penurunan saturasi oksigen, tapi sekarang sudah lebih stabil. Meskipun begitu, kami tetap harus memantaunya secara ketat.”
Sangga mengangguk paham. “Kalau begitu, saya boleh masuk sebentar?” tanyanya, berharap bisa melihat kondisi Garvi langsung.
Namun, dokter Arya langsung menggeleng. “Ga bisa. Bukannya kamu habis jaga di IGD semalaman? kita tahu sendiri betapa hektiknya di sana. Sudah pasti baju dan tubuhmu terpapar banyak kontaminan. ICU butuh kondisi steril.”
Sangga tentu paham bahwa ICU adalah ruangan dengan pengawasan ketat, mengingat pasien di dalamnya sangat rentan. Kebersihan menjadi prioritas utama, sehingga siapa pun yang masuk harus dalam kondisi benar-benar steril. Itulah sebabnya keluarga pasien sering kali tidak diizinkan menjenguk demi mencegah risiko infeksi.
Sangga terdiam sejenak sebelum mendengar dokter Arya menambahkan, “Nanti malam saja. Bukannya kamu yang berjaga di ICU juga? Sekarang istirahat dulu aja.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Garvitara [END]
Aktuelle LiteraturHanya sebuah kisah tentang kehilangan, pengkhianatan, dan perjuangan untuk bertahan hidup, karena kadang, bertahan adalah bentuk cinta terbesar yang bisa kita berikan untuk diri sendiri. Disclaimer: ☆ 100% fiksi ☆ Slow update ☆ Terdapat kata-kata ka...