11. The silence

6.6K 527 5
                                        

○•°•°•°•°○

"Nak Garvi makan dulu ya? Bibi suapin."

Masih menatap kosong ke arah jendala, Garvi menggeleng pelan sebagai respon. Sejak kembali setelah melakukan rangkaian pemeriksaan tadi siang, dirinya jadi banyak melamun.

Semua berawal ketika pagi tadi saat terbangun dari tidurnya ia tidak mendapati satu orang pun di sana. Karena tenggorokan miliknya terasa kering, dengan perlahan ia mencoba meraih botol minum yang ada di nakas samping bed. Namun karena tangan kanannya yang masih terpasang infus terasa ngilu ketika ia angkat, botol itu pun terjatuh. Dengan terpaksa Garvi mencoba untuk beranjak dari bed, perlahan sepasang kakinya ia pijakkan pada lantai itu. Baru satu langkah, lantai yang ia pijak terasa seperti berguncang hingga membuatnya terjatuh.

"Astaga, kenapa bisa di bawah? Jatuh? Ada yang sakit?"

Suara yang berasal dari pintu membuatnya menoleh ke asal suara. Seorang perawat dengan segera berlari ke arahnya.

"Tadi mau ambil botol minum, tapi malah jatuh." Gumamnya diiringi ringisan.

"Lain kali kalau butuh sesuatu tekan nurse call saja ya. Ayo saya bantu berdiri."

Dengan hati-hati perawat itu mencoba membantu Garvi untuk berdiri, namun entah mengapa badannya terasa lemas hingga membuat wanita itu sedikit memekik panik karena tidak bisa menahan tubuh Garvi yang kembali meluruh.

"Sebentar, saya panggil rekan saya dulu."

Tak lama setelah wanita itu meminta tolong melalui interkom yang tersedia di ruangannya, seorang perawat pria datang dan segera membantu memapahnya kembali berbaring pada bed.

"Ada yang sakit?" Pertanyaan itu membuat mata Garvi kembali terbuka yang semula memejam karena rasa sakit di kepalanya kembali terasa.

Hingga pada siang harinya, ditemani bi Ratna ia dibawa ke ruang pemeriksaan untuk melakukan berbagai pemeriksaan. Dokter juga bilang jika dirinya perlu melakukan fisioterapi karena adanya gangguan keseimbangan pasca operasi. Walaupun ini hanya sementara tapi tetap saja, Garvi serasa kembali menjadi seorang balita yang harus belajar berdiri dan berjalan dengan benar.

Tapi ada satu hal lain yang mengganggu pikirannya. Sudah beberapa kali dokter maupun perawat yang datang pada ruang rawatnya selalu menanyakan perihal keberadaan orang tua Garvi sebagai wali pasien untuk membicarakan perawatan yang perlu dijalani Garvi kedepannya.

Mendengar dari obrolan antara dokter dan bi Ratna, ia dengar jika Amara, bundanya itu akan segera datang ke rumah sakit. Tapi hingga sekarang jam menunjukkan pukul enam sore, bundanya itu masih belum terlihat sekalipun batang hidungnya. Juga sang Ayah yang ternyata sudah kembali ke negara yang memiliki bangunan ikonis Menara Eiffel beberapa hari yang lalu dengan alasan pekerjaan. Begitupun Sangga, kakaknya belum terlihat seharian ini.

Di tengah keheningan ruangan, dirinya serasa terlempar lagi pada kenangan saat ia masih berada bangku taman kanak kanak. Betapa sunyi dan membosankan hari-harinya yang ia lewati saat ia harus mendapatkan perawatan setelah kejadian kecelakaan yang mengerikan itu. Dimulai dari ketidak hadiran sang ayah dan kakak yang tidak pernah menejenguknya. Sekalipun ada bunda yang menemani, merawat dan memerhatikannya, tapi wanita itu terlihat sangat murung dan tak banyak bicara. Garvi yang masih kecil tentu belum bisa memahami situasi yang ada. Pada saat itu Garvi kecil hanya mengharapkan kehadiran Sang Ayah juga Kak Sangga.

Usapan hangat yang terasa pada punggung tangannya berhasil memecahkan lamunan Garvi.

"Makan ya? Bibi bilang kamu belum makan dari siang."

Suara lembut dari sang bunda yang ia harapkan kehadirannya sedari tadi akhirnya terdengar. Ia kira bundanya itu sudah tidak peduli dengannya.

"Ayo bunda suapin ya?"

Garvitara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang