DEKANA 1

135 11 0
                                    

      
        Dentingan sendok beradu dengan piring itu terdengar di setiap rungu orang yang tinggal di rumah yang berlantai dua ini, menyendokkan nasi suap demi suap ke dalam mulut berharap kampung tengah miliknya masing-masing tidak lagi menggerutu minta di isi.

       "  Devan, kau yakin akan pergi sekolah dengan keadaan seperti ini nak?"  Tanya laki-laki setengah baya itu kepada anak pertamanya,

       Remaja berumur delapan belas tahun itu mengangguk pelan, lalu mengambil segelas air, lalu meneguknya sampai habis. "  Iya, lagian ngapain di rumah?, nggak ada yang asyik... "

       "  Tapi sikut kamu masih basah gitu, lukanya belum kering, istirahat aja dulu di rumah, besok baru sekolah... "  Ujar Daren selaku orang tertua di antara mereka bertiga.

       "  Nggak, aku sekolah aja... "  Ucapnya keras kepala

         Remaja yang tengah lahap menyuap nasi goreng itu ke dalam mulutnya, menyeringit aneh, dengan gerakan cepat, dia menguyah nasi goreng itu lalu menelannya dengan bantuan air.

           " Aneh banget sih lo, di suruh istirahat dirumah kagak mau, kalau itu gue nggak bakal ngebantah gue mah, terima lahir batin... "  Ujarnya dengan alis di angkat ke atas

        Dahi Daren berkedut, lalu menatap Devan kemudian mengalihkan tatapannya ke anak tengahnya, Kaivan dengan tajam.

        "  Kalau makan, makan aja dulu, nggak usah bicara, kek anak nggak tahu tata krama aja kamu, itu lagi, napa dasinya dililit ke kepala, kek anak berandal... "  Ujar Daren yang berhasil membuat Kaivan diam, dan kembali melanjutkan cara makannya.

         "  Emang berandal dia Pa, di sekolah aja dia sering malakin orang. .. "  Sambung remaja yang duduk tenang di samping Kaivan...

          Kaivan mengigit bibirnya sekilas, lalu melanjutkan makannya

         Daren menatap Kaivan dengan wajah datar, menghela nafas lalu menatap anak bungsunya yang hanya dua bulan lebih muda dari anak tengahnya

         " Huh, sekolah kamu gimana Naren?"  Tanya Daren pada Naren yang tengah menyesap minumannya.
        
         Kaivan mengigit bibir bawahnya, lalu melirik Ayahnya dengan sudut matanya, lha Ayahnya ngapain?, berak?. Katanya nggak boleh bicara kalau lagi makan, lha dia ngapain?.

          Naren menatap Kaivan, lalu mengambil tas ranselnya, menyandangnya lalu menepuk puncak kepala Kaivan dengan cukup keras. "  Aman, kalau aja si berandal ini nggak buat masalah di sekolah, aku pergi dulu.... "  Ucapnya, lalu berlalu keluar dari ruang makan
    
         Devan tersenyum miring lalu menyentil paha Kaivan dengan cukup keras. " Rasain, kalau nggak bisa bicara nggak usah bicara, jadi kena masalah kan, kasian... " Ejek Devan pada Kaivan yang tengah berusaha menghabiskan makanannya.

          "  Nggak bisa bicara gimana gue?, lo pikir sekarang gue ngapain? "  Devan menepuk pundak Kaivan keras, lalu menarik tangan kanan Ayahnya, menyalaminya sebagai tanda hormat, tak seperti Naren atau Kaivan yang lansung pergi tanpa salaman terlebih dahulu kepada Daren.
 
         "  Bodoh "  Hardik Devan sebelum melenggang pergi dari ruangan makan.

          Kaivan tak peduli, Devan tak salah mengatakan dirinya bodoh, dirinya benar bodoh,Dan dia juga tak berguna sama sekali.

Srett

        Decitan kursi bergesekkan dengan lantai itu mengambil atensi Kaivan, dia menatap Daren yang mengambil tas kerjanya lalu dia bergegas pergi dari ruang makan tanpa mengucapkan sepatah kata padanya.

Huh,

        Kaivan mengidikkan bahunya, selalu seperti ini, dirinya selalu menjadi orang terakhir yang menyelesaikan acara makan, mau itu sarapan, makan siang ataupun malam, dia selalu menjadi orang terakhir.

DeKaNaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang