DEKANA 8

52 9 0
                                    

Srett
   
Suara gesekan sepatu dengan lantai semen kasar itu menjadi tolakan bagi seorang siswa yang memakai seragam tanpa dikancingkan dan membuat kaos hitam lolosnya terpampang.
   
" Ini sekolah kalau lo lupa... "

Siswa yang memakai seragam rapi itu mendengus tak percaya, ayolah... tau apa dia tentang sekolah?. Lihatlah, dari cara berpakaian saja, semua orang akan berpikir kalau dia adalah pentolan sekolah, dan dengan percaya dirinya, dia berucap ini adalah sekolah,

" Dan semua urusan lo nggak ada hubungannya ama gue... " Ujarnya tenang,

Ia kembali mendengus, "  Gue minta Ibu lo yang pelacur itu buat ngejahuin Ayah gue, " 

Dia menghela nafas lalu mengalihkan tatapannya ke sisi kiri. " Itu nggak ada urusannya ama gue, nggak ada sama sekali, dan kalau lo mau, kenapa lo nggak minta sendiri ke Ibu gue ... " Balasnya tanpa berkemauan untuk memperpanjang, cukup. Sudah belasan tahun dirinya dirundung dengan permintaan ini, dan dirinya tak bisa mengambulkannya,

" Lagian ngapain lo terus minta ama gue?, napa lo nggak minta aja ama Ayah lo?, oh~ gue tahu, mungkin aja, Ayah lo yang bajingan itu udah cinta mati ama Ibu gue yang pelacur itu, ya udah biarin aja, lo nggak perlu pusing mikirin itu semua sat... "  Ucapnya santai, tapi dadanya sesak mengatakan itu semua,

Ia mengepalkan kedua tangannya, sialan. "  BRENGSEK LO, lo kalau nggak ngerti jangan sembarangan bicara, pelacur itu yang ngedatangin Ayah gue, dan lo... harusnya nyuruh pelacur itu buat ngejahuin Ayah gue, "  Nafasnya memburu, urat lehernya keluar, menandakan bahwa diri nya sudah diselimuti emosi.

Dia bilang ia tak perlu pusing memikirkan itu semua, Ibunya yang tengah menderita sakit jantung itu harus terus menahan sakit saat melihat Ayahnya selingkuh, dan hal seperti itu apa tak perlu ia pikirkan?, bahkan sekarang Ibunya tengah berada di rumah sakit dan itu karena pelacur itu mendatangi Ibunya, dan menyuruh Ibunya bercerai dengan Ayahnya.

" Gue nggak sembarang bicara, itu faktanya. Dan bukannya Ayah lo ama Ibu lo mau cerai, jadi itu kesempat__"

Bugh

" BAJINGAN!, MATI LO SIALAN... "  Jeritnya meraung melepaskan amarahnya dengan memukuli mantan temannya ini membabi buta.

"  Kalau aja gue nggak kenal ama lo dari awal, pasti hal ini nggak akan terjadi! Ibu lo ama Ayah gue nggak bakal ketemu, dan keluarga bakal tetap utuh, tapi pelacur itu ngehancurin semuanya "  Teriak terendam amarah itu menguncrat keluar.

Bugh

Tangan yang mengarahkan pukulan ke arah perut itu lansung saja ia tahan, mendorongnya kedepan dengan sekuat tenaga, tapi tetap saja kekuatannya sangat kuat karena diselimuti amarah.

" Malam ini lo nggak bisa ngebuat Ayah gue ngejauhin pelacur itu, jangan harap lo bakal hidup aman "  Ancaman itu keluar lantang dari mulut bergetar itu. Tangannya kembali bergerak untuk menyempatkan satu pukulan sebelum dirinya pergi.

Bugh
    
"  Aish~ " 

Ringisnya kala melihat mantan temanya itu sudah tak terlihat keberadaannya, dia memegangi perutnya lalu perlahan berusaha mengatur nafasnya, sial sekali. Kalau saja ia tadi belok ke lorong kelas dua belas, nggak bakal ketemu ia, dan karena naluri bodohnya ia malah berbelok ke lorong kelas sebelas dan bertemu.

Ia mengepalkan tangannya,lalu meninju angin dengan kuat. "  Sialan!... " Erangnya di halaman belakang deretan kelas sebelas.
   
  Devan menyeringit melihat itu, lalu ia menegak salivanya susah. Kata pelacur berhasil membuat dirinya setengah bingung. Dirinya yang berniat ingin merokok malah tak jadi karena mendengar kedua belah pihak itu beradu bacot dengan topik saling menyinggung.

      "  Apa sebenarnya masalah mereka?"  Gumamnya sebelum berlalu dari sana,

o0o........

 
  "  Lo pernah naya hubungan Kaivan ama Kevin kan? Lo berdua tahu masalahnya apa?" 
   
  Kedua alis tebal itu terpaut, kemudian menyergit aneh. " Lo bilang mereka ada masalah kecil, lalu? Napa lo balik naya ama gue?" 
 
   Devan mengusak kepalanya yang tak gatal, menggeram pelan lalu menatap Athala dan Gara seraya menggerakan dagu.
   
  "  Ya mana gue tahu, Kaivan kan Adek lo, gimana sih lo?... " Sengit Athala saat diberi kode seperti itu, masa iya naya ama dirinya, yang benar saja, Devan yang notabenya sebagai Kakaknya saja nggak tahu, apalagi dirinya.

Gara mengedikkan matanya, lalu menghela nafas. " Gue nggak tahu pasti, tapi sejak mereka masuk SMA mereka sering berantem, apalagi pas MPLS, tiap ketemu pasti baku hantam. Gue pernah ngeintrogasi mereka berdua, tapi mereka malah adu bacot terus berantem lagi, itu sih yang gue tahu, dan pastinya nggak mutu juga buat lo... "  Ujar Gara, hanya itu yang dapat ia katakan, karena saat ia menginterogasi Kaivan dan Kevin, tak ada satu pun jawaban yang ada hanya umpatan, cacian dan tatapan kebencian.

Devan kembali mengalihkan tatapannya pada Naren lalu mencomot donat Naren yang sudah tinggal setengah,

"  Lo kan temannya Kevin, lo pasti bisa naya-naya ama dia... "
Naren mendengus, "  Gue udah pernah naya, tapi dianya nggak jawab... mungkin karena kaivan sodara gue... "  Jawab Naren yang memperhatikan Devan memakan sisa donatnya, biasanya ia akan mengamuk tapi kali ini ia biarkan saja karena ia sudah kenyang, tadinya ia berniat buang, tapi malah keduluan ama lalat besar, ya nggak masalah juga, nggak jadi mubazir dirinya.

Devan mengigit kecil bibir bawahnya, lalu menatap ketiga orang yang berada di hadapannya. Menghela nafas jengah,

"  Lagian lo ngapain mikir segala tuh masalah si Kaivan, nggak ada untungnya buat lo juga kan, lo pernah bilang, masalahnya ya masalahnya nggak bisa jadi masalah lo, jangan sampe gara gara ini lo berulah, awas aja lo”   Perkataan Athala membuat Devan terdiam, benar juga. Ngapain juga ia memikirin Kaivan?, tapi...

DeKaNaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang