" Anak lo habis dikeroyok orang atau gimana sih?, parah gitu lukanya... " Pria yang memakai setelan baju putih itu menatap temannya yang menunduk pasrah di seberang brangkar yang ditempati Kaivan.
" Nggak tahu " Jawabnya cepat.
Pria itu mengerutkan dahinya, lalu menyugar rambutnya. Ini pertama kalinya ia melihat temannya dalam kondisi seperti ini, kemeja kusut, rambut acak-acakan dan memakai sendal rumahan, beda sekali dengan penampilan sehari-harinya yang terbilang rapi dan bersih.
" Nggak tahu gimana?, dia anak lo, lo pasti ngawasin dia, mana mungkin lo nggak tahu penyebabnya, atau ini lo__" Daren menggeleng lalu menghela nafas beratnya.
" Gua nggak tahu, dan gua bakal nyari tahu nanti, sekarang yang penting itu kondisi anak gua,"
Muaknya karena semenjak tadi temannya ini terus mendumel tentang ini itu, bukan membicarakan tentang Kaivan yang baru saja keluar dari ruang IGD, temannya yang satu ini sama sekali tak meminta izin padanya semenjak anaknya masuk ke dalam IGD, entah dia apakan anaknya selama 1 jam itu di dalam ruangan IGD, ia tak tahu...
Rafa merotasikan matanya, tumben sekali dia bertanya tentang ini, mana pernah dia bertanya tentang kesehatan anaknya, jika anaknya butuh pertolongan maka ia akan melakukannya tanpa bertanya pada Daren, karena ia sudah mendapatkan izin darinya jika mengalami hal seperti ini, ia tak perlu meminta izin lagi, lakukanlah jika itu jalannya yang terbaik
" Yang pasti,pendarahan di rongga perutnya. Biasanya ini tuh karena kena benda tumpul, hantaman benda keras dan karena pukulan... dan kalau gua lihat sih, ini tuh keknya Kaivan dikeroyok orang deh, " Jelas Rafa sambil mengusap kepala Kaivan yang masih terasa panas.
" Gua udah ngelakuin CT Scan ama nih anak, terus laparotomi, untung aja lukanya nggak parah, ... "
Daren mengusap tangan Kaivan yang dingin, berharap usapannya akan menghangatkan tubuh sang anak.
" Ini yang nggak pernah gua liat dari dua anak lo yang lain, dia bisa nahan rasa sakitnya seharian ama perut memar bengkak, pendarahan di rongga perut yang ngebabin dia demam tinggi, gua salut ama nih anak."
Puji Rafa sebelum berlalu keluar dari ruangan Kaivan. Ia sudah menjelaskan semuanya, lagi pula Pria tiga anak itu tak akan bertanya lagi padanya, jadi ngapain lagi ia disini?.
Daren memejamkan matanya, meneguk salivanya kasar, matanya tak mau beranjak dari wajah Kaivan yang masih pucat pasi itu. Apa ia keterlaluan malam tadi?. Itulah pertayaan yang terus berputar dikepalanya.
" Nggak perlu nyesal kalau yang ngebuat dia kek gitu itu Papah... " Sahut Devan yang semenjak tadi berdiri di ambang pintu, memperhatikan Papahnya yang termenung melihat Kaivan.
Daren sontak berbalik, menatap anak sulungnya tajam. Ia kira dia sudah pergi sekolah, ternyata tidak. Lalu, kemana dia tadi?.
" Kamu kenapa nggak sekolah?"
Devan mengangkat bahunya, lalu berjalan mendekati brangkar Kaivan lalu duduk di tempat Rafa tadi.
" Malas... " Jawabnya acuh. Matanya terpaku pada Kaivan yang tengah memejamkan matanya.
Daren menghela nafasnya, tidak ia tidak boleh marah, saat ini anaknya sakit dan kemungkinan itu karena dirinya. Ia berlalu keluar dari kamar rawat Kaivan, ia hanya ingin menenangkan pikirannya. Ia tak bisa mengambil resiko jika ia kembali dikuasai oleh emosi.
" Lho Mas, ngapain kamu disini?" Pertayaan dengan intonasi terkejut dan tak percaya itu membuat dirinya berbalik guna melihat dan memastikan siapa yang menegurnya sebentar ini.
Ia menyergit lalu menggeleng pelan, ia lupa kalau dia seorang dokter.
" Mas! " Panggilnya menyadarkan.
Daren tersenyum kaku mengigit kecil bibir bawahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DeKaNa
RandomBagi Devan, Kaivan itu seperti ember bocor, congor nggak pernah di jaga, somplak, dan menyedihkan, mungkin?. Sedangkan Naren, baginya anak bungsu Papanya itu anak pintar, cerdas, bertanggung jawab, dan pembohong. Bagi Kaivan, Devan itu orang blak...