Mata tajam yang terkesan teduh itu perlahan mengalihkan pandangannya saat mendengar dentingan notifikasi dari handphone yang tergeletak di atas nakas, dengan rasa malas tangan itu mulai bergerak menjangkau handphone tersebut,
Matanya lansung menyegrit aneh melihat isi pesan yang tertera di layar depan handphone miliknya, bibir bawahnya di gigit pelan kemudian bangkit dari posisinya yang lensehan untuk duduk di pinggir ranjang.
[ Brengsek lo totol, awas lo besok ]
Ia sudah tahu, bahkan sudah sangat kenal dengan typing si pengirim pesan, bahkan nomor yang selalu mengirim pesan kepadanya selalu berhenti, namun typingnya dirinya tahu bahwa dia hanya satu orang
Ia menaruh kembali handphonenya, lalu meregangkan otot lehernya yang terasa kaku setelah berjam jam menempel pada bantal, dengan gerakan perlahan, kakinya melangkah keluar dari kamar kemudian berjalan menuruni tangga dengan sesekali mengusap rambutnya terasa sangat gatal
“ Nggak ada ya sat, lo yang salah tarok kalik, main tuduh aja lo “
Mendengar teriakan berupa kalimat pembelaan diri itu , Kaivan berhenti menuruni tangga dan memilih untuk melihat Devan dan Naren yang sepertinya tengah berdebat di depan lemari es
“ Ya kalau nggak lo siapa lagi, nggak ada yang suka eskrim cokelat selain gue ama lo di sini, ngaku nggak lo monyet “ Teriak Devan yang masih bersikukuh menuduh Naren yang kini tengah sedang meminum air dalam gelas,
“ Devan jangan teriak ke adekmya,dan Naren tolong jaga bahasanya kalau lagi ngomong sama abangnya,“
Kaivan mengalihkan pandangannya dan melihat Ayahnya sedang duduk anteng di meja makan dengan buku di tangan kirinya, tapi buku itu seolah menjadi formalitas saja, karena fokus Daren bukan pada buku itu , tapi pada perdebatan anak sulung dan bungsu yang berada tepat di belakang Ayahnya,
Daren yang merasa di perhatikan, mengalihkan tatapan dan melihat anak tengahnya berdiri kaku di atas tangga, Daren meneguk salivanya, Kaivan benar terlihat baik baik saja,
“ Cepat turun Kai, kamu belum makan malam” Ajak Daren yang membuyar keterfokusan Kaivan yang menatap Daren.
Kaivan menurut saja, dan membawa kakinya menuju meja makan, dan duduk tepat di samping Daren yang sudah menaruh bukunya di atas meja, lalu mendorong piring berisi nasi dan mangkuk berisi sop ayam kepadanya,
“ Cepat makan “ Ujarnya yang hanya di balas deheman oleh Kaivan,
Daren makin menyegrit, tumben nih anak anteng adem aja?. Biasa akan ada drama, seperti bertanya tumben perhatian?, lha sekarang kok diam?, sakit bisa ngubah sifat seseorang kah?.
“ Heh monyet, jangan ngelak lo, jujur aja. Tinggal bilang iya, terus lo keluar buat beli lagi “ Teriak Devan yang masih tidak terima dengan elakan Naren
“ Serah lo lah capek gue, bukan gue ya bukan gue “ Pasrah Naren yang mulai berjalan mendekati meja makan, kemudian duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Daren.
Daren menghela nafasnya, keadaan sepertinya tengah berbalik, Kaivan diam, Naren dan Devan berisik, biasa Devan dan Kaivan yang akan membuat onar, tapi sekarang malah Naren yang berisik dan Kaivan yang terlihat tenang.
“ Terus kalau bukan lo siapa hah?” Teriak Devan yang ikut duduk di meja makan, wajahnya sangat kentara sekali menahan amarah
“ Kalian bisa diam?, sejak tadi lagi. Pusing Papa dengarnya “ Ujar Daren yang sudah bosan mendengar tuduhan Devan dan pembelaan Naren semenjak tadi
“ Nggak bisa gitu dong Pa, eskrim aku…. “ Perkataan itu terpotong saat mendengar dentingan sendok makan terjatuh ke atas meja kaca, dan tentu saja suara itu membust antesi ketiga laki laki lainnya lansung tertuju pada Kaivan sang pelaku yang menjatuhkan sendok
KAMU SEDANG MEMBACA
DeKaNa
RandomBagi Devan, Kaivan itu seperti ember bocor, congor nggak pernah di jaga, somplak, dan menyedihkan, mungkin?. Sedangkan Naren, baginya anak bungsu Papanya itu anak pintar, cerdas, bertanggung jawab, dan pembohong. Bagi Kaivan, Devan itu orang blak...