DEKANA 11

44 7 1
                                    


Mata yang tadinya menutup rapat sekarang sudah terbuka lebar melihat sesuatu di hadapannya dengan malas, pakaian yang sudah lusuh tadi sudah diganti dengan pakaian baru. Ia menoleh ke kiri, disana ia melihat seorang remaja yang asyik mengupil sambil memperhatikan pria paruh baya yang mondar-mandir di hadapan mereka berdua.

Tangannya bergerak, membuka layar handphone yang berada di gengagamanya, ya handphonenya, ternyata  handhonenya bukan hilang, melainkan di simpan  oleh Daren, ingin marah tapi ia malas berbicara, ia juga masih sedikit dendam dengan Ayahnya,
     
" Bunda.... buburnya nggak enak " Rengekan itu berhasil membuat atensi mereka buyar, bahkan pria yang semenjak tadi mondar mandir juga berhenti saat mendengar rengekan itu.
      
Kaivan terpaku melihat itu, tak ada bedanya dengan Devan, dia juga melongo mendengar suara rengekan itu. Ya... bagaimana tidak kaget, orang yang jarang bicara dan sering berucap pedas itu sekarang malah merengek pada Ibunya.
      
"  Besok kamu boleh pulang, tidak sekarang, ngerti?"  Suara berat Daren membuyar atensinya pada Naren, semenjak tadi ternyata itu yang di pikirkan oleh Daren ternyata, mereka pikir ada apa?.
       
  Kaivan diam tak berkomentar, mata sayunya menatap Sang Ayah malas. Tak ingin menjawab, dirinya malah turun dari atas brangkar lalu memasukkan tangan yang menggenggam handphone  itu ke dalam saku hodienya.

"  Aku tidak sakit kalau Ayah mau tahu... " Kaivan melenggang menuju pintu keluar.
       
Daren yang melihat itu lansung berlari dan mencegat tangan Kaivan yang bergerak ingin menarik knop pintu. "  Sekali saja dengerin Ayah bisa?, kau akan pulang besok, tidak sekarang, dengar?... "
          
Kaivan menggeleng pelan, lalu mengeluarkan tangan yang satu lagi untuk membuka pintu.

"  Jujur aja, aku nggak nyaman disini, aku pengen pulang... " Jawab Kaivan kukuh dengan pendiriannya yang ingin pulang ke rumah.

Daren menggeram marah saat tubuh Kaivan sudah di telan habis oleh pintu ruangan, perlahan dia membalikkan tubuhnya melihat Devan yang masih cengo melihat Naren yang merengek pada Karin.

  “ Devan, urus adek kamu ….” Titah Daren yang membuat Devan seketika tersadar dan mengalihkan pandangan kepada sang papa,

“ Kenapa nggak papa aja?, aku mau nyantai tahu nggak?” Daren menggeleng kemudian berjalan mendekati Devan, menarik paksa Devan agar bangkit dari sofa.

“ Mas, pelan bisa? “ Pinta Karin yang sama sekali tidak di dengarkan oleh Daren, dia malah makin erat mencekal tangan Devan, lalu mendorong Devan keluar dari dalam ruangan..

“ Jangan protes, bisa?, tolong sekali ini, pastiin dia bener pulang ke rumah  “ Tolong Daren dengan tatapan memohon di layangkan pada Devan, bukannya dirinya tidak mau menyusul Kaivan, ia haeus mengurus sesuatu terlebih dahulu,

“ Kenapa harus aku, dia kan anak papa, kenapa nggak papa aja, nyusahin tahu nggak pa “ Tolak Devan sembari menjatuhkan bokongnya ke tempat duduk yang berada di depan ruangan. 

“  Terserah kamu lah, “ Jawab Daren setelahnya karena muak berdebat, Daren  membalikkan tubuhnya,dan kembali masuk ke dalam ruangan, ia tak peduli dengan protes yang di layangkan oleh Devan, Daren makin acuh tidak mau tahu. Karena, Daren tahu tabiat Devan, Devan tidak akan pernah meninggalkan tanggung jawabnya, ia pasti kan setelah ini Devan pasti akan menyusul Kaivan. Karena, itu sifat yang di ajarkan oleh mendiang istrinya kepada Devan dahulunya,

“ Nyusahin aja  “ Teriak Devan sebelum berlalu pergi menyusul Kaivan yang entah sudah sampai dimana?, terlebih anak itu pulang entag menggunakan apa?, kalau dia naik ojek atau taksi, emang tuh anak punya duit?. Emang nyusahin aja kerjaan ya.

Berbeda dengan Devan, Daren yang sudah berada di dalam ruangan,sedang menatap intens Ibu dan anak itu, lalu mengusap wajahnya kasar, menghela nafas berat lalu mendekati Karin dan Naren yang juga menatap Daren aneh. 

DeKaNaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang