18

242 46 9
                                    

Minho menghela nafasnya panjang, matanya menatap kosong ke arah jendela. Cahaya yang terik itu menyinari wajahnya yang pucat, menyoroti lingkaran hitam yang sedikit tercipta di bawah matanya. Felix duduk di sampingnya, menyaksikan langit yang sama dengan yang tengah dipandang Minho.

"Bagaimana, Yongbokie?" tanya Minho lirih. Suaranya terdengar lemah dan putus asa. Tadi ia buru-buru datang kemari karena Felix mengajaknya berbicara soal Jisung.

Namun ketika sampai, wajah Felix menunjukkan ekspresi kecewanya.

Felix menggeleng pelan menanggapi pertanyaan Minho.

"Jisung juga tak ingin jujur padamu, ya?" ucap Minho dengan nada sedih. Ia sudah menduganya, Jisung tak ingin mengatakan yang sebenarnya bahkan pada Felix.

"Aku sungguh tidak mengerti," gumam Felix. 

"Dia benar-benar keras kepala, kan?" timpal Minho. Ia menunduk untuk mengeluarkan laptop dari tasnya. Memikirkan Jisung benar-benar membuatnya pusing, lebih baik ia memikirkan pula skripsinya yang sedikit lagi selesai.

Apakah ia perlu menuliskan nama Jisung pada skripsinya?

Felix mengangguk setuju, Jisung benar-benar kepala batu. "Aku menyerah, hyung. Kau benar. Aku juga sangat kesal dengannya maupun Chan," suaranya terdengar pahit. Rasanya sekarang melihat wajah Chan saja ia ingin memukulnya.

Minho terdiam sejenak, seolah-olah sedang merenungkan kata-kata Felix. "Tetapi..." ujarnya ragu-ragu.

"Apa?" tanya Felix, menoleh ke arah Minho.

"Tadi aku tak sengaja berpapasan dengannya," lanjut Minho.

"Aku juga. Dan itu menyebalkan melihatnya terus bersama orang berbadan besar itu," sahut Felix, merujuk pada Chan. Sepertinya pemuda dengan freckles di wajahnya itu mulai menyimpan dendam kesumat pada Chan.

"Aku melihat tatapannya," ujar Minho, suaranya sedikit bergetar. "Aku merasa Jisung masih--"

"Menyimpan rasa padamu? Ayolah, itu sudah tidak penting lagi," potong Felix. "Tetap saja dia tiba-tiba menghindarimu, menjalin hubungan dengan Chan-hyung, dan tidak mengatakan sedikitpun alasannya mengenai semua itu."

Minho terdiam. Hatinya berkecamuk antara harapan dan keputusasaan. Ia ingin percaya bahwa Jisung masih memiliki perasaan padanya. Namun, tindakan Jisung yang menjauhinya dan menjalin hubungan dengan orang lain membuat hatinya hancur.

"Bolehkah aku berharap Jisung masih mencintaiku, Yongbokie?" tanya Minho dengan suara lirih.

Felix menatap Minho dengan iba. "Apa gunanya mengharapkan semua itu, hyung? Jika memang benar, seharusnya ia tak pernah meninggalkanmu. Atau setidaknya ia mengatakan sesuatu yang masuk akal dan melakukan hal yang masuk akal juga."

Minho mengangguk pelan. "Aku tahu," gumamnya. "Tetapi..."

Felix mulai menggenggam tangan Minho. "Berhentilah mengharapkannya, hyung. Kau akan tersiksa sendiri," lihat sekarang? Siapa sebenarnya sahabat Felix saat ini? Mengapa ia jadi malah lebih akrab dengan Minho dibandingkan tupai plin plan itu?

Pemuda dengan paras tampan itu menunduk memandang lantai. Ia tahu Felix benar. Namun, hatinya masih sulit untuk melupakan Jisung. Hey, tentu saja itu tidak mudah.

Felix menghela nafas pasrah, menatap Minho dengan tatapan penuh keprihatinan. "Jisung terus membohongiku, membohongimu. Aku tahu persis ketika ia sedang berbohong," ujarnya, nada suaranya terdengar tegas.

Mengangguk lemah, sebenarnya Minho setuju. "Karena itulah aku ingin mencari tahu kebenarannya. Tetapi sedikit banyak Jisung sama sekali tak ingin membuka mulutnya," balas Minho, suaranya terdengar lesu.

SECOND LIFE [Minsung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang