24

413 47 8
                                    

Jisung duduk di hadapan Dr. Kim, matanya menerawang kosong. Ia mengangguk pelan ketika ditanya mengenai obat-obatannya yang sudah habis. Pertanyaan berikutnya dari sang dokter membuat Jisung terdiam sejenak. Ia berusaha merangkai kata-kata untuk menggambarkan perasaan rumit yang sedang ia alami.

"Entahlah. Aku masih terbayang-bayang rasa sakit itu.." lirih Jisung. Kata-kata itu keluar seakan menusuk hatinya sendiri. 

Dr. Kim mengangguk mengerti. "Pasti itu menjadi trauma yang membekas untukmu ya?" tanyanya lembut. Jisung hanya bisa mengangguk lagi sebagai jawaban.

Percakapan berlanjut pada kehidupan Jisung saat ini. Dr. Kim bertanya apakah tinggal bersama orang baru membuatnya merasa lebih baik. Terlebih lagi, Chan kedengarannya seperti sosok yang baik untuk Jisung, mungkin saja. 

Namun, Jisung menggeleng pelan. "Sejujurnya tidak.." jawabnya lirih.

"Kau merasa terancam? Atau takut hal serupa terjadi?" tanya Dr. Kim. Ia ingin memastikan apakah pemicu dari rasa trauma yang dialami Jisung mungkin saja timbul dari sikap Chan.

Jisung terdiam sejenak sebelum menggelengkan kepalanya dengan sedikit ragu. "Um, tidak juga. Hanya saja, aku tidak merasakan apapun. Terlebih lagi, aku masih mencintainya," ujarnya merujuk pada Minho.

Ah, akhirnya ia bisa jujur pada seseorang.

Setelah semalaman ia mengaku pada dirinya sendiri, bahwa sosok Minho masih setia mengisi hatinya.

Bagaimana tidak? Setelah hidup bertahun-tahun dengan Minho, kini Jisung harus merelakan pemuda itu. Jauh dari Minho merupakan suatu hal yang asing bagi sang tupai. Biasanya Minho akan melakukan ini dan itu untuknya, lalu sekarang semuanya nampak begitu kosong.

Dr. Kim menatap Jisung dengan penuh perhatian. Ia mengerti betapa rumitnya perasaan yang sedang dialami oleh pasien mudanya ini. "Aku mengerti. Tidakkah kau pernah berpikir bahwa, keputusan yang kau buat itu mungkin saja salah?" tanya Dr. Kim perlahan.


***


Chan berdiri di ambang pintu dapur, tatapannya mencari-cari sesuatu. Ketika tidak menemukan apa yang dicari, ia memanggil Jisung. Suaranya terdengar datar, namun di balik itu tersimpan sedikit kekecewaan. Jisung yang tengah bersantai di ruang tamu, terlihat terkejut dengan panggilan Chan.

"Jisung-ah, kau tidak menyiapkan makan malam?" tanya Chan.

Jisung menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Um, aku membelinya," jawabnya agak ragu. Sebenarnya ia cukup sering membeli makanan ketimbang membuatnya. Tentunya hal ini disebabkan oleh mentalnya yang tak stabil dan seolah menguras energi fisiknya.

Setiap hari, Jisung rasanya ingin terus mengistirahatkan otaknya yang terus berputar. Kepalanya seringkali pusing sepanjang hari dan tubuhnya lemas.

Pemuda itu nampak begitu rapuh dari hari ke hari.

Chan menghela nafas berat. "Jika kita terus membeli, lama-kelamaan uang kita akan habis," ujarnya mengingatkan. Ia juga keberatan dengan menu makanan yang dibeli tersebut. Padahal ia merasa makanan rumahan akan jauh lebih sehat untuknya yang bekerja seharian.

Jisung mengangguk cepat. "Uh, maaf soal itu," ucapnya lirih.

Chan menatap Jisung lekat-lekat. "Kau harus mencoba memasak," usulnya.

Jisung tampak semakin lesu, ia tak memberikan banyak respon. Chan menggelengkan kepala, seolah kecewa dengan sikap yang ditunjukkan oleh pemuda manis di hadapannya ini.

"Pekerjaan semudah itu kau tidak bisa melakukannya?" tanya Chan dengan nada sedikit meninggi.

Jisung berusaha menjelaskan. "Bukan seperti itu.. aku baru saja kembali dari psikiater.." Benar memang. Dan belakangan ini, Jisung melakukannya cukup sering.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SECOND LIFE [Minsung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang