Sekolah Menengah Atas Delton Hill, dikenal sebagai sekolah elit dengan standar akademik yang tinggi dan segudang kegiatan ekstrakurikulernya. Namun, ketenangan di sekolah itu pecah ketika seorang siswi berprestasi ditemukan tewas di aula sekolah. Da...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Arabella menahan napas, bersembunyi di balik semak-semak bersama Banu. Mata mereka saling bertemu untuk sesaat, tetapi Banu memberi isyarat dengan jari di bibirnya, meminta Arabella untuk tetap diam. Langkah kaki itu semakin mendekat, semakin terdengar jelas di antara keheningan sore yang mulai merayap masuk.
Detik-detik berlalu seolah lebih lambat dari biasanya. Arabella bisa merasakan seluruh tubuhnya tegang, jantungnya berdetak kencang hingga terasa di telinganya sendiri. Dia mencoba mengintip dari balik semak-semak, dan samar-samar melihat sosok tinggi dengan jaket hitam berjalan perlahan di sepanjang sisi aula. Orang itu tampaknya sedang mencari sesuatu, atau mungkin memastikan sesuatu.
"Siapa dia?" Arabella berbisik pelan, hampir tidak terdengar.
Banu menggelengkan kepala dengan ekspresi serius. "Gue juga enggak tahu," jawabnya pelan, pandangannya tetap terfokus pada sosok yang masih bergerak di sekitar aula. "Tapi, kita enggak boleh ketahuan."
Langkah kaki itu berhenti, dan Arabella bisa melihat sosok itu berbalik, seolah mendengarkan sesuatu. Perasaan dingin menjalar di punggungnya saat sosok itu berjalan lebih dekat ke arah mereka. Banu mengencangkan cengkeramannya pada lengan Arabella, menahan agar dia tetap di tempat.
Mereka berdua menahan napas ketika sosok itu berhenti hanya beberapa meter dari tempat mereka bersembunyi. Arabella bisa melihat sepatu hitam berdebu yang dikenakan sosok itu, dan dia berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apa pun.
Namun, keheningan itu pecah ketika tiba-tiba ponsel di kantong Banu bergetar dengan bunyi pelan tetapi jelas. Banu dengan cepat mematikannya, tetapi tidak cukup cepat untuk mencegah sosok di depan mereka menyadari kehadiran mereka.
"Sial," Banu berbisik pelan, wajahnya berubah tegang. "Kita harus kabur."
Tanpa menunggu jawaban, Banu menarik tangan Arabella, dan keduanya melompat keluar dari tempat persembunyian mereka. Sosok itu berteriak, mengejar mereka dengan langkah cepat. Arabella bisa merasakan paniknya naik ke tenggorokan, tetapi kakinya bergerak dengan cepat mengikuti arahan Banu.
Mereka berlari di sepanjang sisi aula, melewati pintu samping yang tadi gagal dibuka oleh Arabella. Langkah kaki mereka bergema di antara dinding-dinding bangunan, tetapi mereka tidak berani menoleh ke belakang. Arabella bisa mendengar napas beratnya sendiri bercampur dengan napas Banu yang berada di sampingnya.
"Gue tahu jalan pintas," kata Banu dengan suara tertahan di antara napasnya yang terengah-engah. "Ikutin gue!"
Arabella tidak punya pilihan lain selain percaya pada Banu. Mereka berlari ke arah taman belakang sekolah, melewati gerbang kecil yang biasanya selalu terkunci, tetapi entah bagaimana terbuka malam itu. Banu melompat melewati pagar rendah yang membatasi taman dengan area hutan kecil di belakang sekolah, dan Arabella mengikutinya tanpa ragu.
Mereka terus berlari hingga napas Arabella mulai habis, dan ketika mereka sampai di hutan, Banu akhirnya memperlambat langkahnya. Arabella merasakan dadanya berdenyut, kakinya gemetar karena kelelahan, tetapi dia memaksa dirinya untuk tetap berjalan, mengikuti Banu yang sekarang sudah berjalan cepat di depannya.