BAB 6 : Mengubah Rencana

15 4 1
                                    

Hari ketiga kematian Daiva

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ketiga kematian Daiva.

Seharusnya sore ini Arabella pergi ke rumah sakit, menjenguk Pak Jaka untuk melihat kondisi beliau saat ini, sekaligus mencari informasi terkait kematian Daiva. Mungkin saja, Pak Jaka tahu sesuatu yang penting. Namun, kehadiran Atlantas sore tadi di ruang musik membuat pikirannya berantakan. Rasa khawatir dan gelisah perlahan menguasai dirinya.

'Untuk apa Atlantas tidur di ruang musik? Sejak kapan dia ada di sana? Apakah dia mendengar percakapannya dengan Banu dari awal?' Pikiran-pikiran itu terus berputar dalam benaknya, tidak membiarkannya tenang. 'Terus kalau ternyata Atlantas mendengar semuanya, apakah dia akan membeberkan kepada siswa-siswi lain?'

Arabella menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba meredakan kegelisahan yang melanda. Dia dan Banu sedang duduk di lantai dua sebuah kafe yang juga menjadi toko baju di lantai satunya. Kafe ini tidak terlalu ramai, namun terasa nyaman. Mungkin karena tidak ada satu pun pengunjung yang mengenalinya, Arabella merasa sedikit lebih aman di sana.

"Lo kelihatan stress banget, Bel," ucap Banu sambil mendorong sepiring strawberry cake ke hadapan Arabella. "Makan, gih," titahnya, mencoba meringankan suasana.

Arabella menatap kue itu tanpa minat, kemudian mengangkat pandangannya ke arah Banu. "Gimana enggak stress, Nu? Gue adalah salah satu orang yang tahu kebenaran tentang foto Daiva."

Banu mendengarkan dengan seksama, tidak ingin memotong. Arabella melanjutkan, "Lo tau, ketika pertama kali gue lihat foto Daiva yang asli dan yang disebar ke semua orang itu beda, rasanya otak gue panas banget. Gue mikirin konspirasi apa di balik ini semua. Tapi, gue enggak nemu jawabannya. Itu yang bikin gue kayak orang linglung. Berhari-hari gue pendam itu semua, mencoba memberi tahu orang lain, tapi gue enggak bisa. Gue enggak percaya sama siapa-siapa."

Arabella berhenti sejenak, menghela napas berat sebelum melanjutkan, "Gue jadi berpikir ulang, sepenting apa, sih, reputasi Delton Hill sampai mereka semua berani menutup mata atas apa yang terjadi sama Daiva? Mereka enggak punya hati, ya?" tanyanya dengan nada ironis.

"Sekarang malah ada korban baru, dan kita ke-gap sama Atlantas. Apa enggak makin stress gue?!" Tanpa sadar, Arabella menyeruput es strawberry-nya kuat-kuat, seakan melampiaskan amarahnya melalui minuman itu.

Setelah itu Arabella meletakkan gelasnya di atas meja dengan sedikit keras. "Lo tau, kadang gue mikir untuk langsung sebar foto Daiva aja biar semua orang tau," ucapnya dengan suara pelan namun tegas. "Tapi, gue mikir ulang. Sekolah aja nutup-nutupi kayak gini, apa gue bakal aman kalau nekat nge-share semuanya?"

Dia menunduk, menarik napas dalam-dalam, kemudian melanjutkan, "Terus juga, gue enggak tega, Nu. Gimana kalau Daiva malah jadi bahan gunjingan orang? Jadi, gue ada kepikiran untuk nunjukkin ini langsung ke orang tuanya, tapi mereka masih di luar negeri. Parah banget, kan?"

Banu hanya menatapnya dengan tatapan prihatin. Dia tahu betapa beratnya semua ini bagi Arabella. Memikul rahasia ini sendirian, tanpa tahu siapa yang bisa dipercaya, adalah beban yang sangat berat, terutama karena Daiva adalah teman mereka. Banu turut merasakan beban tersebut.

The Sleuthing StudentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang