BAB 11 : Selangkah Lebih Maju

15 3 0
                                    

Pak Joko, pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih di beberapa tempat, dia duduk di tepi ranjang rumah sakit dengan infus yang tergantung di sebelahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pak Joko, pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih di beberapa tempat, dia duduk di tepi ranjang rumah sakit dengan infus yang tergantung di sebelahnya. Wajahnya tampak lelah, namun sorot matanya penuh perhatian ketika melihat Arabella masuk.

"Selamat sore, Arabella," balas Pak Joko sambil mengangguk. "Maaf, saya harus membuat kalian menunggu begitu lama."

Arabella tersenyum, berusaha mencairkan suasana yang agak kaku. "Tidak apa-apa, Pak. Kami paham kalau Bapak pasti butuh persiapan atas kunjungan mendadak kami. Saya harap tidak mengganggu, tapi kami benar-benar perlu bicara dengan Bapak."

Pak Joko menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya yang terlihat lelah ke kursi. "Saya tahu kamu ingin bertanya tentang Daiva, kan?"

Pak Joko tersenyum tipis, lalu menunjuk kursi di depannya. "Silakan duduk. Saya yakin ada banyak yang ingin kamu tanyakan."

Arabella menelan ludah. Nama itu, nama yang terus menghantui pikirannya selama beberapa hari terakhir, kini terucap dengan jelas. "Ya, Pak. Saya dengar Bapak orang pertama yang menemukan Daiva di aula. Kami hanya ingin tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi ... jika Bapak tidak keberatan berbagi cerita."

Pak Joko meremas jemarinya, terlihat sedikit cemas. "Tidak banyak yang bisa saya ceritakan, Nak Bella. Itu adalah pagi yang biasa, saya hanya ingin membersihkan aula seperti biasa. Tapi, ketika saya membuka pintu ...."

Pak Joko melanjutkan dengan suara yang hampir berbisik, "Saya melihat Daiva tergeletak di lantai, tidak bergerak. Ada darah ... di mana-mana. Saya ... saya tidak tahu harus berbuat apa. Yang bisa saya lakukan hanyalah menatapnya ... dan kemudian semuanya menjadi gelap."

Arabella merasa simpati melihat ekspresi Pak Joko yang tertekan. Dia tahu bahwa kejadian ini telah meninggalkan bekas yang mendalam di benak Pak Joko.

"Bapak tidak ingat hal lain? Mungkin sesuatu yang aneh atau tidak biasa sebelum kejadian itu?" tanya Arabella dengan lembut, mencoba tidak membuat Pak Joko semakin tertekan.

Arabella menatap Pak Joko yang duduk di atas ranjang rumah sakit, wajahnya terlihat letih dan murung.

Pak Joko menatap lantai dengan pandangan kosong, seolah mencoba menarik kembali memori yang samar dari pikirannya. "Ada sesuatu ... tapi saya tidak yakin," ucapnya pelan, matanya mengerut penuh keraguan. "Sebelum saya masuk, saya melihat ceceran tanah. Saya ikuti cecerannya, dan berhenti di dekat mayat Daiva. Saya langsung teriak."

Arabella merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. "Apakah ada yang datang ke aula setelah itu, Pak?" tanyanya dengan nada lembut, mencoba menenangkan kegelisahan yang mungkin muncul dari pertanyaannya.

Pak Joko menggeleng perlahan, masih dalam keadaan termenung. "Saya sudah pingsan, Nak. Tapi, Pak Haris yang bawa saya ke rumah sakit."

Arabella mengangguk. "Selain ceceran tanah itu, apakah Bapak lihat kondisi mayat Daiva saat itu?" tanyanya dengan hati-hati, menyadari bahwa pertanyaannya mungkin akan membuka luka lama.

The Sleuthing StudentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang