"Kemarin masih bisa," gumamnya, sambil mengerutkan dahi. Dia mundur beberapa langkah, memandang pintu bercat hitam itu dengan heran. Tidak menemukan solusi lain, Arabella segera mengambil ponselnya dan menelepon Banu.
Beberapa detik kemudian, suara riuh dari seberang telepon terdengar jelas.
“Ada apa, Bel?” tanya Banu, suaranya terdengar terburu-buru di tengah keributan.
“Lo di mana? Ruang musik kenapa dikunci? Bukain pintunya, dong,” jawab Arabella.
“Lah? Bukannya lo punya kuncinya?” tanya Banu, bingung.
“Gila lo, yakali gue punya. Ngeliat kuncinya aja enggak pernah,” balas Arabella. Dia bersandar di pintu sambil melihat kukunya yang dicat warna merah.
“Wait, tapi kok selama ini lo bisa masuk ruang musik?” Banu semakin bingung.
Arabella mengerutkan kening, menatap pintu dengan rasa tidak percaya. “Bukannya lo yang buka duluan?” tanyanya, merinding. Rasa tidak nyaman mulai menyelinap ke dalam dirinya.
“Enggak, bukan gue. Gue pikir lo yang buka ruangannya,” jawab Banu. “Gue, kan, selalu datang setelah lo. Gimana gue bukanya coba?” lanjutnya.
Arabella terdiam. Selama ini, dia mengira bahwa Banu membuka pintu terlebih dahulu, kemudian pergi, dan tidak lama setelah itu Arabella masuk. "Bego, bego! Kenapa gue berpikir rumit begitu, sih?!" desahnya dalam hati, merasa bodoh karena kesalahpahaman itu.
Arabella mendadak cemas. “Damn, berarti selama ini ada orang lain yang masuk sebelum kita!” katanya panik. “Gue harus cari tahu siapa!”
Satu nama langsung terlintas di kepalanya. “Gue akan temuin Atlantas!” serunya, lalu memutuskan sambungan tanpa menunggu jawaban dari Banu dan bergegas menuju lantai dua.
Begitu sampai di lantai dua, Arabella menghentikan langkahnya sejenak, memandangi sekeliling dengan cepat, mencari seseorang yang bisa membantu. Setelah melihat beberapa murid yang keluar masuk kelas, Arabella memutuskan untuk bertanya pada seorang gadis yang sedang berjalan santai dengan buku di tangan.
“Maaf, lo tahu Atlantas di mana enggak?” tanya Arabella sambil berusaha terdengar santai meskipun jantungnya berdebar kencang.
Gadis itu mengerutkan kening, tampak agak bingung. “Atlantas? Tadi dia di kelas, sih, tapi kayaknya dia sekarang ada di ruang lab.”
Tanpa berpikir dua kali, Arabella berterima kasih dan segera berlari menuju ruang laboratorium yang berada di lantai tiga.
Sesampai di depan ruang lab, Arabella mendapati pintu itu setengah terbuka. Dia melangkah masuk dengan hati-hati. Ruangan itu cukup sepi, hanya ada beberapa alat praktikum yang tertata rapi di meja-meja panjang. Hatinya berdegup kencang saat melihat sosok Atlantas yang sedang berdiri di dekat jendela, memandang keluar dengan tangan bersedekap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sleuthing Students
Roman pour AdolescentsSekolah Menengah Atas Delton Hill, dikenal sebagai sekolah elit dengan standar akademik yang tinggi dan segudang kegiatan ekstrakurikulernya. Namun, ketenangan di sekolah itu pecah ketika seorang siswi berprestasi ditemukan tewas di aula sekolah. Da...