26

23 6 3
                                    

VOTE DULU YA WEEEH
HARGAI AUTHOR JANGAN MENJADI SILENT READER ☝️
.
.
.
"Dunia seakan tidak setuju dengan semua yang aku mau"

((⁠>⁠0⁠<⁠;⁠)(⁠‘⁠◉⁠⌓⁠◉⁠’⁠)

Sambungan telepon telah mati. Nara kebingungan dengan perintah Mesya yang cukup aneh menurutnya. Perasaannya berkata lain, namun tetap menuruti dengan langkah yang berhati-hati.

Setelah masuk ke dalam rumah, Nara langsung menyusuri tangga menuju kamar Mesya. Lampu-lampu rumah di dalam masih tampak gelap. Nara melirik ke sana-kemari, mencoba untuk waspada. Sampai di depan kamar Mesya ia mengetuk pintu.

Mesya dengan tangan kosong berjalan membuka pintu. Detik itu juga Nara langsung masuk ke dalam kamar. Nesta masih dengan posisi yang sama. Duduk santai di sofa, memainkan kunci kamar Mesya, dan handphone gadis itu yang ditahan di sampingnya.

"Sekarang kembalikan handphone dan kunci kamar gue," pinta Mesya.

Nesta menyeringai, cukup menyebalkan bagi Mesya. Ia lalu bangkit dari duduknya dan mulai mendekati Nara yang masih berdiri.

"Gimana jalan-jalannya? Puas?" Nesta bertanya cukup dekat di wajah Nara, sembari mengelilinginya. Sedikit rasa takut itu ada, namun Nara berusaha untuk tetap tenang. Ia memejamkan matanya, mencoba menjauh dari wajah Nesta.

"Sampai rela nggak masuk kelas cuma buat keliling kota tanpa tujuan. Padahal bilangnya mau fokus kuliah. Gimana, senang?" Suara rendah itu kembali Nara dengar beserta tarikan napasnya.

"Mulai sekarang lo nggak akan bisa lagi ketemu dia. Detik ini juga lo nggak akan bisa nolak gue lagi." Sekali lagi Nesta membuka suara.

Nara mulai bosan dengan ancaman-ancaman bodohnya itu. Ia pun mendorong Nesta sekaligus, hingga lelaki itu mundur dua meter dari hadapannya.

"Berhenti ngancam gue dengan kalimat-kalimat bodoh lo itu! Gue berhak nentuin pilihan hidup gue sendiri," Nara menimpali.

Nesta menyeringai lebar, cukup menyebalkan. Ia kembali melangkah lebih dekat pada Nara. "Sampai kapan lo mau menghindar dari gue, Na? Apa harus gue jadi Neithen biar lo suka?" Suaranya masih terdengar rendah.

"Mau lo jadi siapa pun, bahkan jadi Neithen sekali pun, gue nggak akan pernah nerima lo. Sekarang, lo nggak perlu ngancam gue bawa nama dia, karena gue udah keluar dari jebakan lo. Dan lo, lo juga harus sadar kalo cowok yang gue suka itu cuma Neithen. Sekarang lo pergi dari sini!" Sorot mata Nara cukup tajam dengan kata yang penuh penekanan.

Napas Nesta terombang-ambing mulai emosi. Matanya tak kalah tajam menatap Nara. "Gue pastikan malam ini juga kita menikah, Nara!" Nesta berseru, mendorongnya hingga terjatuh di kasur. Gadis itu membulatkan matanya, bukan terkejut, melainkan takut.

"Nesta, lo jangan macam-macam sama Nara!" Mesya menghampiri, mendorong Nesta penuh emosi.

"Lo diam!" pekik Nesta, menepis tubuh Mesya.

Nara hendak bangkit karena takut, namun Nesta menahannya. Kedua mata Nara menyorot, napasnya tak beraturan.

"Jangan mempermainkan cinta seorang pria, Nara. Mereka lebih memilih mati bersama wanitanya daripada melihatnya bahagia bersama pria lain." Nesta duduk di samping Nara sembari menahan tangan gadis itu agar tidak bangkit dari baringnya. Sesekali Nesta mengelus lembut pipi Nara yang kemerahan itu.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang