30

22 4 5
                                    

VOTE DULU YAA
HARGAI AUTHOR JANGAN MENJADI SILENT READER ☝️
.
.
.
"Semoga waktu berlalu dengan penuh kebersamaan"

Kala mata tak sengaja memandang, Neithen memasang wajah malas. Setelah motor terparkir sempurna, ia segera beranjak masuk tanpa menghiraukan kedatangan Gerrard dan Shena.

Gerrard berusaha untuk tidak terlalu menanggapi sikap anak tunggalnya itu. Ia menenangkan Shena, tersenyum pada sang istri. Shena membalas senyuman—tidak masalah sama sekali dengan sikap Neithen. Mereka sudah biasa mendapati itu.

Sebelum menutup pintu Neithen menahan tangannya, menatap pada kedua orang tuanya yang hendak berjalan masuk. Bertukar pandang untuk beberapa saat, lalu dengan berat hati Neithen menutup pintu tanpa mempersilakan Gerrard untuk masuk. Di balik pintu ia kembali terdiam, sedikit merasa iba, namun hati kecilnya merasa tidak rela melihat sepasang suami istri itu bahagia.

Yang seharusnya bahagia adalah mama Daisy. Bukan mereka.

Neithen beranjak, menghilangkan rasa iba dalam hatinya. Peristiwa menyakitkan itu tidak bisa ia lupakan begitu saja.

Sekali lagi Gerrard tak merasa bermasalah dengan sikap anak laki-lakinya. Ia memilih duduk di depan, menunggu kedatangan Faida yang masih di kedai.

Hampir setengah jam mereka menunggu di depan. Tak mengapa, Gerrard tidak masalah dengan hal itu. Sesekali Neithen mengintip lewat jendela, dan Gerrard masih duduk di sana. Ingin hati membuka pintu, namun pikiran selalu menayangkan peristiwa masa lalu yang membuatnya mengurungkan niat. Neithen kembali ke kamar.

Faida dengan barang bawaannya dari kedai, berjalan masuk dari gang sempit itu. Langkahnya terhenti kala kedua mata mendapati sang kakak tengah duduk di teras rumahnya.

"Bang Gerrard. Sudah lama nunggu?" Faida bertanya.

Gerrard dan Shena bangkit dari duduknya, Shena tersenyum.

"Sekitar empat puluh lima menit," Gerrard menjawab, mengamati jam tangannya.

"Neithen ..."

"Ada di dalam." Gerrard memotong ucapan Faida yang belum diselesaikan. Ia melihat keraguan Faida ketika menyebut nama anak itu.

Faida mengangguk. "Ayo masuk!" Pintu langsung Faida buka, meminta sang kakak untuk duduk terlebih dahulu.

Ia menyimpan barang bawaannya kemudian langsung menuju dapur untuk membuat teh hangat dan segelas kopi.

Faida ikut duduk di antara sofa yang mereka duduki.

"Bagaimana kabar Nadine?" Gerrard membuka suara, berbasa-basi bertanya.

"Baik. Sebentar lagi dia akan menjalani ujian akhir semester," Faida memaparkan.

"Reksa ... bagaimana pekerjaannya. Apa dia sudah kembali dari luar kota?"

"Dia sudah kembali. Pekerjaannya sedang ada peningkatan di perusahaan."

"Itu bagus. Lalu bagaimana dengan kedai?"

"Masih seperti biasa. Kedai ramai di jam dan hari tertentu. Pagi ini cukup ramai."

Sebagai pembuka mereka berbincang bertanya kabar. Bercerita mengenai pekerjaan dan perusahaan yang kini dipegang Gerrard. Perusahaan tambang batubara yang dimiliki Daisy kini berjalan sukses di tangan Gerrard. Salah satu pemberian ayah Daisy kala itu, yang membuatnya harus meninggal tanpa surat warisan. Seandainya kematian Daisy tidak secepat itu, mungkin kekayaan yang dimilikinya akan ia wariskan pada anak laki-laki yang sudah tumbuh dewasa.

Neithen. Ya. Meskipun anak itu bukan anak dari darah daging Daisy, tapi kebahagiaan Daisy ada padanya. Dan satu-satunya pewaris harta kekayaan yang diberikan sang ayah padanya hanya akan jatuh pada Neithen. Bukan pada Gerrard. Namun takdir berkata lain. Semua kekayaan kini telah berada di tangan Gerrard. Meski perusahaan sukses di tangannya, namun tetap saja ia merebutnya dari Daisy dengan tangan kotor. Bukan karena keinginan Daisy.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang