24. Beri Aku Kesempatan

303 36 19
                                    

Rasa dingin menerpa kulit usai Lasi menuju balkon samping tempat meja panjang dan kursi kayu berjejer. Dia menguap, terkejut mendapati Rama menjadi penghuni salah satu kursi di dana. Duduk ditemani secangkir kopi.

Waktu masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Tetapi di sekitar rumah panggung the hope masih terlihat gelap gulita.

Lasi mendekat, senang betul menghirup udara segar. Gerimis yang awet sampai sekarang menambah rasa sejuk yang tak terkira.

"Sendiri aja bos. Aura jomblo lo kuat banget."

Rama berdecak. "Belom mandi kan lo?"

Lasi menyengir. "Tapi gue udah gosok gigi dan pake parfum kok. Nih cium nih, wangi kan?" Lasi tanpa malu menyodorkan ketiaknya ke arah Rama.

"Si oneng!" Rama menoyor kepala Lasi menjauh, wajahnya memerah saat tanpa bisa dihindari dia melihat dada Lasi terarah padanya. Gadis ini benar-benar. "Jangan gitu lagi ke orang lain, oon!"

"Dih, kenapa sih sampe melotot segala? Masih pagi sarapan tuh nasi bukan emosi." Lasi kembali duduk, memangku wajahnya dengan kedua tangan, menikmati suasana pagi.

"Goblok dipelihara ya begini." gumam Rama, menyesap kopinya.

Balkon ini memang ruang yang sangat asik untuk dijadikan tempat ngobrol. Suasana hutan yang menyejukkan, asri dan juga alami membuat siapapun akan betah berlama-lama duduk di sana. Ditambah di depan balkon ada taman sayur dan bunga milik Zanna yang terawat. Bahkan ada rumah pondok kecil di tengahnya.

Suara hewan-hewan liar menjadi radio alam yang begitu seru. Kicau burung, suara jangkrik juga teriakan Owa, hewan endemik di sini menemani Lasi juga Rama.

"Ternyata nikmat banget jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota." ucap Lasi, diam-diam Rama menyetujui. "Asap udah nggak ada, ya?"

Rama menatap langit. "Ilang keknya, ditimpa hujan seharian." Rama kembali menoleh pada cewek yang rambutnya dicepol asal itu. "Raung semalaman demam."

Lasi kontan mendelik. "Terus kenapa lo bilang ke gue?! Nggak ada urusan."

"Cuma ngasih tahu. Siapa tahu lo pengin tahu." Rama tersenyum tipis.

"Mulai nih? Nggak asik lo ah. Kayak si Bima aja ngeledek gue terus."

Rama terbahak. "Tapi elo kepikiran nggak sih bakal kerja bareng Raung?"

Lasi terdiam. Jujur saja tidak pernah, tapi untuk bertemu lagi, Lasi selalu menantikan.

"Sepertinya semesta tahu, diantara kalian berdua, ada sesuatu yang belum selesai. Makanya semesta menakdirkan kalian berdua bertemu lagi." Rama menunduk kecil. "Lo percaya nggak, La? Kalau masanya belum abis, lo berdua bakal terus terikat."

"Kalau masanya nggak abis-abis?"

"Lo berdua ditakdirkan bersama sampai maut memisahkan."

Lasi menatap Rama. Entah perasaannya saja atau memang betul, di sepasang mata lelaki itu ada kilat kegetiran. Rama memang tersenyum, ramah seperti biasa. Tapi saat membahas soal dirinya dan Raung, dia terlihat pedih.

"Raung benci gue." kata Lasi lirih, suasananya mendukung untuk curhat.

"Nggak akan mampu buat selamanya."

Menyaksikan wajah murung Lasi saat ini ternyata membuat sesuatu dalam hatinya terasa sesak. Rama menghela nafas, agaknya memang benar. Lasi masih menyimpan rasa pada Raung.

Agak menyedihkan. Sementara dirinya sendiri berharap pada gadis itu. Ya, bukan salah Lasi atau Raung. Dia sendiri yang dengan sadar malah jatuh hati pada pujaan hati sahabatnya. Meski sekarang tidak ada salahnya Rama naksir, karena baik Lasi atau Raung belum mempunyai hubungan apa-apa. Cenderung telah selesai malah. Apalagi Raung tampak enggan mendekati Lasi lagi. Jadi Rama merasa punya kesempatan lebih.

RAUNG ( SON OF KALAMANTANA )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang