23. Hutan ( Rumah Kehidupan )

321 36 18
                                    

Part ini panjang syekali. Sebenarnya mau aku buat dua chapter, tapi lebih enak disatukan sepertinya hehehe :)

Malam hari ketika sang legenda bawah tanah bangkit. Setelah gempa bumi terjadi, hujan turun dengan deras. Nyaris sepanjang malam, rintik-rintik hujan membasahi tanah Kalamantana yang terbakar. Membuat gejolak api yang tadinya ganas memakan sekitarnya mulai mengecil, perlahan-lahan padam, lantas menyisakan asap-asap mengepul.

Asap kehitaman yang cukup pekat sekaligus bau. Tentu saja hujan besar itu disyukuri oleh banyak orang. Dengan padamnya api, kebakaran mulai teratasi.

Dae melirik ke langit. Samar-samar terdengar suara baling-baling heli yang sejak tadi bolak-balik. Suaranya sudah tak sesering awal. Mungkin karena kebakaran mulai bisa teratasi. Beberapa heli yang masih terbang di tengah curah hujan itu kemungkinan besar sedang memantau perkembangan.

Hujan deras disertai angin masih tak kunjung berhenti. Saat ini Dae sedang berada di menara rumah, tempat tertinggi yang sering digunakan untuk memantau keadaan sekitar.

Letaknya tepat di tengah-tengah rumah, dengan lebar 3×3 meter persegi. Menara tersebut mempunyai atap yang terbuat dari kayu ulin dengan tambahan atap rumbia di sisi-sisinya. Atap rumbia itu dibeli dari warga sekitar, dibuat dengan tangan menggunakan daun kelapa sawit.

Dae menghela nafas. Kemunculan Tangkalaluk seketika membuat alam semesta terlihat jauh lebih mengerikan. Mata Dae menelisik ke dalam hutan, merasakan desis mengerikan yang tengah meliputi hutan.

Makhluk yang harusnya terkubur dalam-dalam di hutan Kalimantan sudah menunjukkan taringnya. Dan Dae bisa merasakan, bumi maupun dunia tempatnya lahir sesaat terguncang. Aura kebencian yang disebarkan Tangkalaluk sangat lah menakutkan. Para penghuni Asgafiar— dunia asalnya, pastilah merasakan aura gelap tersebut.

Dan itu lah masalah terbesarnya. Dae tahu, hanya tinggal menghitung waktu sampai para penghuni Asgafiar mengendus kekutan Tangkalaluk.

Tiba di bumi. Mencuri kekuatan itu dari Raung. Dae mengepalkan tangannya, menatapi rintik hujan dengan pikiran berkelana.

Mantra perisainya berkedip-kedip tiap kali tetesan air hujan melewatinya. Untuk mata manusia biasa, mereka tidak akan melihat kilatan cahaya tersebut.

"Di sini rupanya," ucap Baji, di anak tangga terakhir. "Aku mencarimu sejak tadi."

"Gimana?"

Baji yang tahu arah percakapan Dae menggeleng pelan. "Belum ketemu."

Zanna dan Labih tengah memeriksa kamera trap yang tersebar di hutan untuk mencari Raung. Kamera tersebut memang mereka letakkan di tempat-tempat tertentu demi kepentingan pemantauan satwa.

Baji berdiri bersisian dengan Dae. Pohon-pohon besar di sekitar rumah bergerak-gerak mengikuti arah angin. Dahannya nyaris menyentuh tanah saat angin menyeruak mereka. Entah sudah berapa banyak daun dan ranting yang berjatuhan sedari tadi.

"Kau yakin Raung akan baik-baik saja, Dae?"

Dae mengangguk tanpa menoleh. Iris matanya sempurna mengarah pada hutan, menelisik sekaligus berjaga-jaga. "Dia putra rimba. Hutan menyayanginya."

Baji mendesah panjang. "Kau selalu saja berkata begitu, Dae."

***

RAUNG ( SON OF KALAMANTANA )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang