21| Hari Patah Hati

519 127 54
                                    

     Masih bersangkutan dengan masa lalu memang hal yang paling tidak mengenakan. Selalu ada perasaan was-was jika masa lalunya seperti Regan, yang terobsesi untuk memiliki meski dengan cara tidak wajar. 

     Dan—ada masa lalu yang tidak perlu berjuang, tapi sudah menjadi pemenang.

     Di atas brankar UKS, Harmonie menghela nafas, saat dirasa sudah mulai tenang. Gadis itu beranjak hendak kembali ke kelas.

     "Mau kemana?" tanya Aresh yang sedari tadi menemani.

     "Mau ke kelas, jam pelajaran juga udah abis."

     "Yaudah, sama gue."

     Harmonie mengangguk. "Makasih, maaf juga udah ngerepotin lo."

     "Gapapa, asal uang kas gue gratis sampai lulus."

     Mengingat itu, Harmonie memberikan tatapan tajam pada Aresh. Kesal karena dia memang belum pernah membayar kas sejak mereka masuk ke kelas X IPA 2.

     "Gaada, besok tetap harus bayar."
 
     Aresh mendengus kesal, namun tetap mengikuti langkah gadis itu dari belakang menuju kelas. Memastikan hal yang seperti tadi, tidak terjadi lagi. Entah mengapa, padahal seharusnya Aresh tidak perlu peduli. Tapi bukankah membiarkan pelecehan seksual di sekolah ini juga tidak benar? Iya, mungkin hanya simpati terhadap sesama manusia, tidak lebih.

     Tadi, bisa saja Aresh ladenin. Tapi dia benar-benar malas mengeluarkan tenaga dan berujung masuk ruang BK. Tidak ingin menambah point pelanggarannya lagi, kecuali cowok tadi berhasil mengenai serangan padanya, mungkin akan beda cerita lagi.

     Ditatapnya punggung gadis itu, rambut kuncir kudanya bergerak ke sana kemari saat dia berjalan. Badannya memang pas, tinggi kurus dan putih mulus. Aresh akui, Harmonie memang cantik dari segi manapun. Apalagi Aresh jarang sekali menemui gadis yang memiliki tinggi badan 165 cm seperti Harmonie.

***

    Siang menjelang sore Semarang kembali diguyur hujan deras. Gadis bersweater warna burgundy itu mendongak, menatap langit-langit yang kini meluruhkan rintik hujan yang mulai membasahi jalanan perkotaan.

    Gadis itu masih setia di halte, menunggu hujan reda sebelum memutuskan pulang ke rumah. Lagi pula, Harmonie menyukai bau petrikor saat tanah kering menjadi basah karena turun hujan. Aroma khas itu, selalu tercium nikmat baginya.

   Tangannya diulurkan ke rintikan hujan sambil memejamkan mata, menikmati sensasi dingin yang mulai menyentuh kulit tangannya.

   "Ngapain?"

   Matanya terbuka, saat suara seseorang terdengar. Aresh dengan jas hujan biru andalannya itu kini menatap Harmonie lekat. "Nunggu hujan reda lagi?"

    "Iya."

    "Kenapa gak pesan taxi?"

    "Pengin nikmatin hujan aja."

    "Aneh," gumam Aresh.

    Harmonie mendengus. "Udah sana pulang, sekalian besok bayar uang kas jangan lupa."

    Bola mata Aresh memutar malas. Tidak ada kata-kata andalan Harmonie selain memintai uang kas padanya.

    "Ayo, gue anter balik."

    Kedua alis Harmonie menyatu heran.

    "Ponsel lo anti air, 'kan?"

    "Iya, anti air," balasnya, "gue beli saat Ayah belum bikin Ibu jatuh miskin," lanjutnya dalam hati.

    "Mau main hujan, gak?"

TREASURER | ARESHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang