Bab I [•] Mayat.

88 14 2
                                    

"Tolong segera pergi dari sini!!" teriak polisi dengan sirinenya.

Banyak mata yang memperhatikan tubuh berdarah tersebut, tidak lupa dengan kamera di sekitarnya. Dibalik keramaian yang mengelilingi mayat itu, sebuah kamera sedang merekam segalanya.

Pemilik kamera itu perlahan mundur dengan bola mata birunya yang masih mengawasi mayat itu, tubuhnya langsing membuatnya dengan mudah kabur kapan saja. Badannya juga cukup tinggi hingga bisa memandang mayat itu dari kejauhan.

DOR!!

Suara tembakan terdengar tidak jauh dari kerumunan tersebut. Polisi yang menggenggam pistol di langit, bola matanya yang bewarna hijau tua menatap sekitar dengan tajam. Di seragamnya terdapat label nama miliknya, Armas Halonen.

Pria itu cukup menakutkan berdiri di atas mobil sembari menggenggam pistolnya. Polisi lain memberikannya sirine. Armas menarik nafas dalam-dalam dan membuka mulutnya di depan sirine.

"Segera pergi dari sini! Jika tidak, maka kami terpaksa mengusir anda semua dengan cara keras!!" nadanya tegas tanpa terpotong sedikitpun.

Banyak orang yang khawatir dan mulai pergi dari TKP, mereka tidak ingin mengambil resiko. Tidak dengan pemilik kamera yang masih diam di tempat. Kartu identitasnya mengalungi leher pria itu. Ia mengenakan sweter dan dibungkus jaket panjang. Ia masih menulis sesuatu di notenya dan menggaris bawahi pertanyaannya.

Note :

Mayat wanita ditermukan pada tanggal 14 Desember 2014. Kemungkinan jatuh dari lantai 7, tapi tubuhnya sudah hancur duluan. apa sudah dibunuh?

14 Desember 2014. Pukul 11.15.


Pria itu berjalan cepat ke arah mayat dan jongkok di depannya. Ia mengenakan sarung tangan dan memeriksa tubuh wanita yang dilumuri darah ini.

Di bagian dadanya, ia melihat sesuatu yang berbentuk pecahan di dalam daging itu. Jika di perhatikan posisi pecahan itu, letaknya di tengah dada, jantung.

Matanya melebar, tidak yakin dengan yang dilihat. Tangannya segera menepiskan diri dan ia segera pergi menjauh dari mayat itu. Mungkin saja penglihatanmu mulai minus, Haken.

"Haken!" seru seorang wanita dari kejauhan.

Pria itu mencari asal suara wanita tersebut, tentu tidak asing dengannya. Rambut bergelombang milik wanita itu hampir saja berantakan karena terlalu banyak berlari. Tangan kanan wanita itu bertumpu di pundak kirinya Haken. Dia segera mengatur nafasnya, matanya yang bewarna merah muda menatap Haken dengan sedikit panik.

Haken mematikan kameranya dan memasukkannya ke dalam ranselnya, ia tidak ingin sesuatu yang ia sayangi di periksa para polisi. Mereka berdua menatap mayat itu sekali lagi, sedikit iba.

Haken menengok ke gedung di samping mayat itu. Satu-satunya kemungkinan mayat itu jatuh dari sana, terlihat seperti bentuk bunuh diri.

"Wanita itu seperti bunuh diri," gumam wanita tadi dan kembali berdiri tegak sembari mengusap bajunya yang lusuh.

Pikiran mereka sama.

"Mungkin saja. Apa kau sudah mengecek seluruh lantai di gedung itu?" tanya Haken sembari memasukkan notenya di ransel.

"Tidak semuanya, hanya sampai lantai dua belas." wajah wanita itu disiram oleh keringatnya sendiri.

Mereka berdua mulai berjalan menjauh dari pengawasan polisi, mereka bukan tipe yang suka berdebat. Wanita itu sedikit geram dengan Haken yang terlalu tinggi, bisa saja suatu saat ia terkena sakit leher karena kebiasaan sepele itu.

Pembalasan [ THE END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang