9. Intimacy

204 26 2
                                    

Bab ini mengandung konten dewasa.

Jika ga suka, bisa skip sampai ketemu batas (***)

Met baca, jangan lupa makan!



________


Dan sekarang, tibalah sesi yang menggelisahkan. Tiga hari lalu, Rhea dengan mudahnya setuju dengan proposal ini. Akan tetapi mendekati waktu malam pertama mereka, dia menjadi sangat sangat gugup. Lebih gugup dibandingkan ketika mereka berciuman.

Rhea mendesah setelah mematikan alat pengering rambut. Dia menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Begitu dia menggeser pintu kamar mandi, ia melihat Maven sudah di atas tempat tidur dengan iPad di tangannya. Pria yang hanya mengenakan jubah mandi sama sepertinya itu mendongak dan menatapnya.

Indra penciuman Rhea menangkap aroma sensual dari pengharum ruangan. Lalu ada banyak kelopak bunga berhamburan tidak beraturan di bawah ranjang besar. Jika Rhea masih ingat, mereka semua berada di atas tempat tidur membentuk hati dengan rapi.

"Itu mengganggu," Maven bersuara seolah bisa mengetahui dengan jelas apa yang Rhea pikirkan.

"Oh ...."

Suaminya meletakkan iPad di nakas samping tempat tidur lalu beranjak dari tempat malasnya, melangkah mendekatinya. Tiba di depannya, Maven menyentuh rambut setengah basahnya. Ketika tatapan tajam dan gelap itu bergeser menatap tepat ke manik matanya, tanpa sadar dia menjadi gugup.

"... Apa kamu tidak lelah?"

"Tidak." Jari-jari besar dan kasar Maven bergerak ke rahang bawah Rhea.

"Kita beraktivitas seharian di acara tadi. Aku pikir kita butuh istirahat sekarang. Jika tidak, aku takut hasilnya kurang produktif. Bagaimana jika besok kita bertemu dokter untuk memulai program hamil?"

"Kamu meremehkan kinerjaku di tempat tidur?"

Rhea bergidik saat Maven menyentuh pinggiran kerah jubah mandinya.

Memegang tangan halus Rhea, Maven melangkah mundur sebelum duduk di pinggir ranjang. Dengan lembut dia menarik istrinya hingga jatuh terduduk di pangkuannya. Satu tangannya mengusap pipi pucat istrinya, tangan lain menarik tali jubah mandi itu.

Maven berkata pelan, "Rhe, jangan ragukan staminaku."

Pipi Rhea menjadi panas.

Maven kembali menciumnya sama seperti ciuman mereka sebelumnya. Lembut namun intens. Akan tetapi, ciuman itu tidak bertahan lama. Karena ia meningkatkan permainan ciuman mereka. Dia menggigit bibir bawah Rhea membuat istrinya mengerang dan membuka bibir untuknya. Lidahnya bergerak masuk dan mengajak miliknya untuk menari bersama, menyecap bersama, dan merasakan bersama.

Sambil melakukannya, Maven menurunkan jubah mandi Rhea hingga memperlihatkan setengah tubuh telanjangnya yang menggoda. Ditambah dengan tangan pria itu yang menyentuh kulitnya di mana-mana membuat panas tubuhnya menjadi naik.

Menghentikan ciuman mereka sejenak, Maven menurunkan kepalanya menuju bukit kembar yang menggiurkan.

"Aromamu sangat enak." Ketika mulut hangatnya berada di sisi satunya, salah satu tangannya memberi kesenangan pada sisi lainnya. Tidak hanya itu saja, kesenangan berikutnya juga datang karena tangan lainnya berada di kaki Rhea. Menyentuhnya, membelainya, dan menggodanya.

Karena kesenangan yang bersamaan itu, sebuah erangan lolos dari bibir Rhea. Ada perasaan kesemutan di antara kakinya membuatnya tanpa sadar menggoyangkan pinggul. Setelahnya, dia tersentak karena merasakan kekerasan Maven. Dan prianya menggeram pelan dengan mulut penuh.

Maven mulai membaringkan Rhea di ranjang setelah merasakan jika ia sudah siap untuknya. Dia ikut melepaskan jubah mandi membuat pandangan Rhea berpusat pada kesombongannya yang berat. Sesuatu yang dia rasakan di antara bokongnya tadi adalah benda itu?!

Wajah Rhea mulai tegang dan pucat. "For real?"

"Percaya padaku."

Maven bisa melihat Rhea ingin menggeleng, maka dia segera menangkup wajah kecilnya dan menciumnya kembali. Selang beberapa menit, dia menatap Rhea yang terengah sekali lagi.

"Kamu percaya padaku, kan?"

Rhea menghirup napas dalam sebelum mengembuskannya. Dia melakukan dua kali lagi sebelum mengangguk seraya memejamkan mata. Tangannya mencari pegangan dan itu adalah seprai.

Setelah mendapat izin, Maven mulai mendorong pelan hingga mengisinya sepenuhnya. Dalam prosesnya, Rhea mengerang dan dahinya mengernyit dengan buliran tipis keringat di pelipisnya. Sedangkan Maven menggeram rendah.

"Astaga ...."

"Apa aku menyakitimu?" Maven menyeka keringat Rhea dengan ibu jarinya yang kasar. "Jangan tegang. Kamu akan menyakiti kita."

Rhea ingin menggeleng tapi itu jelas pertama kalinya dia dan percuma saja berbohong ketika wajahnya menunjukkan sama sekali tidak baik. Dia masih tidak percaya sesuatu seperti itu berada di dalamnya.

Dia membutuhkan banyak waktu untuk mengatur napas. Setelah beberapa hening lamanya, dia kemudian berbisik, "... Aku percaya padamu."

Begitu Rhea terbiasa, Maven mulai bergerak. Perlahan, lambat hingga dia mampu menyesuaikan temponya. Beberapa menit kemudian, rasa sakit itu berangsur menghilang. Sensasi kesemutan pun datang di tempat mereka bergabung.

Suara erangan yang ditahan, mata yang terpejam dengan pipi merah membuat Maven tidak bisa bersabar untuk waktu yang lama lagi. Dia memberikan dorongan yang panjang dan dalam. Gerakannya mulai kasar hingga istrinya membuka matanya cepat, tampak panik.

"...ven."

"Apa sangat nyaman di bawah sana? Tell me, Rhe."

Bisikan di telinganya ditambah gigitan di lehernya membuat Rhea mengencang. "Tunggu du—"

Maven memblokir bibirnya. Lidahnya masuk tanpa peringatan dan menahan jeritan Rhea.

Apa yang Maven lakukan itu terlalu banyak hingga Rhea kewalahan untuk menerima semuanya. Kegembiraan yang asing namun sangat mengagumkan itu datang dan dia tidak bisa berhenti gemetar. Setelah dia mendapatkan pelepasannya, Maven pun menyusul dengan beberapa dorongan terakhir seraya menggeram di bahunya hingga dia menggigil.

Rasanya sungguh berlebihan untuk pengalaman pertamanya, namun memang sangat nyaman di bawah sana, aku Rhea. Dia baru saja memejamkan matanya dengan perasaan nyaman itu, tetapi tiba-tiba saja Maven menariknya bangung membuatnya bingung. Kedua tangannya menyentuh bahu lebar suaminya. "Apa yang ingin kau lakukan?"

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Rhe." Maven membelai telapak tangan Rhea sebelum menjalinnya. Dengan tubuh mereka yang terlalu dekat dan jalinan tangan yang sempurna membuat suasana di antara mereka menjadi lebih intim. Mata gelapnya kemudian menatap tepat di manik mata cokelat Rhea. "Aku harus tahu apakah aku melakukan yang terbaik atau belum."

***

Tadi malam benar-benar hal yang luar biasa hebat. Maven tidak berbohong tentang staminanya. Setelah sesi pertama berakhir, tidak butuh waktu lama untuknya kembali bersemangat. Rhea bahkan belum selesai mengatur napas, atau paling tidak merapikan rambut yang berantakan di dahi yang berkeringat. Pria itu sudah menariknya untuk duduk di pangkuannya dan kembali bergerak. Bahkan ketika ia sudah kelelahan, pria itu tidak melepaskannya.

Yah, Rhea memang lelah, tapi dia sangat puas. Dia tidak tahu bercinta bisa terasa mengagumkan. Saking kagumnya, dia tidak menghitung berapa kali kegembiraannya datang. Dan sekarang dia merasakan sakit disekujur tubuh. Terima kasih untuk pria itu yang tidak mengerti kata 'istirahat'.

Biasanya, Rhea selalu bangun sangat awal. Namun pagi ini dia kesiangan. Tidak ada Maven, tidak ada Tony, tidak ada siapa pun selain Gemma dan pelayan yang menyeduhkan teh untuk Gemma. Dia hanya menyapa singkat Gemma sebelum pergi bekerja. Untung saja, Maven sudah menyiapkan pakaian untuknya yang sopan dan tertutup.

Menatap lukisan di depannya, dia mendesah pelan ketika perutnya berbunyi. Dia tidak sempat sarapan tadi karena takut terlambat. Karena masih sepi, mungkin dia bisa memakan beberapa roti isi dan—

"Di situ rupanya kamu, Rhe!"

Suara itu .... Rhea memejamkan mata dan kembali menghela napas. Andini di sini.

The Billionaire's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang