33. Sulking

154 23 4
                                    


Ini agak pendek. Aku tau :'




_____________________




Oke, jika Rhea ingat-ingat, mungkin usia hotel ini sekitar 9 atau 10 tahun. Bagaimana cara mereka membangun usaha sebaik ini?

"Koneksi dan kemampuan," ujar Maven seolah bisa mendengar pertanyaan batin Rhea. "Selain modal, kami juga membutuhkan koneksi dan kemampuan. Lalu selain itu, yang paling penting adalah komitmen."

Ah benar juga. Komitmen itu sangat sulit dipertahankan. Apalagi jika dilakukan bersama-sama.

Tetapi serius, pria muda mana yang mampu mendirikan sebuah hotel lalu berkembang pesat hingga sekarang?!

Hotel ini merupakan salah satu hotel bagus dan mewah di Indonesia. Tidak hanya dari segi infrastruktur, tapi juga pelayanannya. Rhea beberapa kali menginap di sini karena pelayanannya yang memuaskan seperti hotel-hotel besar milik keluarga konglomerat di ibu kota. Haah Rhea lupa nama keluarga itu.

Selang beberapa menit terdiam, Rhea mengerjapkan matanya. "... Wow."

Rhea sungguh tidak tahu jika ini hotel dari para pria jutawan.

"Cade yang memegang hotel ini. Bukan berarti kami juga yang harus menempelkan nama kami di struktur hotel," Maven menjelaskan secara singkat. Namun tetap saja bagi Rhea, mereka turut andil berempat.

"Sungguh itu keren. Kalian sungguh berani mengambil langkah terlalu besar seperti itu," Rhea memujinya dengan tulus membuat Maven tidak bisa tidak tersenyum.

"Cukup membicarakan itu, sekarang aku ingin mendengar mengenaimu dan pekerjaanmu. Kamu tampak menikmati pekerjaanmu."

"Ya, aku sangat suka seni. Aku sangat suka mengetahui sejarah atau cerita dibalik barang seni itu." Dia mengambil gelas mineral dan bertanya tiba-tiba begitu dia mengingat Andini, "Omong-omong, bagaimana keadaan Enzo di sana?"

Sontak saja raut wajah Maven menggelap. Ini bukanlah pergantian topik yang dia inginkan.

"Akhir-akhir ini istrinya murung di tempat kerja dan lebih sensitif. Aku pikir itu ada kaitannya dengannya."

Maven menanggapinya, "Dia ingin menyaingi jam kerjaku. Datang sangat pagi dan pulang paling terakhir."

Rhea tertawa kecil. "Dia pasti ingin menghasilkan uang berkali-kali lipat sepertimu. Apa karena pulang terlambat terus, makanya wanita itu super sensitif? Tapi, memikirkan Enzo yang giat bekerja—"

Maven menghabiskan minumannya dan meletakkan gelas kaca tersebut. Dia mengembuskan napas lewat mulut, memotong ucapan Rhea, "Haah .... Sayang, apa kamu sudah menyelesaikan makanmu?"

Panggilan tiba-tiba itu membuat Rhea kaget dan memerah. Tidak ada kenalan mereka di sini, jadi untuk apa memanggilnya seperti itu?

"U-Uhm, ya."

"bagus." Maven dengan cepat berdiri dan menggenggam tangan Rhea, mengajak wanita itu keluar dari hotel tersebut.

***

"Tu-Tunggu sebentar, Mav—" Kepala Rhea tersentak ke belakang ketika Maven mengusapnya. "Kita sedang di dalam mobil!"

Jika dia masih ingat, sekarang bukan jam mereka berhubungan intim. Dan duduk di atas pangkuannya di tempat seperti ini membuatnya canggung.

Sementara Maven, pria itu mendesah nyaman. Selalu menyenangkan berada di dalam kehangatannya. Perasaan itu sungguh mengagumkan.

"Kenapa kita tidak bisa melakukannya di sini?"

"Bagaimana jika banyak orang yang melihat?" Terlihat jelas raut wajah Rhea yang ketakutan.

Maven menggeram pelan ketika Rhea tiba-tiba mengepalkan miliknya di bawah sana. "Istriku mesum juga ternyata. Apa kamu sangat semangat tentang kita yang dilihat ketika melakukan ini?"

"Apa?!" Rhea secara refleks menggeleng. Dia menegang dan panik. "Kita pulang dulu, ya. Atau pesan kamar di sini."

"Tidak akan ada yang memperhatikan kita karena jendela mobil cukup gelap. Jadi, bergeraklah."

"Maven ...." Rhea menatapnya memohon.

Dan bukannya menyetujui permintaan istrinya, Maven malah semakin tidak tahan. Wajah istrinya benar-benar membuat batas kesabarannya lepas. Dia menggigit daun telinga Rhea menyebabkan wanita itu menggigil. "Aku menyuruhmu bergerak, Rhe."

"Kumohon, tidak di sini ...."

Tersenyum tipis, Maven mengusap pipi Rhea. "Baiklah, aku akan membantumu."

Maven mendorong lembut beberapa kali hingga ketegangan Rhea mulai menurun. Kemudian ia membuka kancing atasan istrinya. Dia menaikkan bra tersebut lalu membungkus bayi-bayi lembut itu dengan kedua tangannya yang besar. Kelembutan di tangannya sungguh membuat dia terpesona. Mau bagaimanapun dia meremasnya, mereka selalu berubah bentuk mengikuti remasannya.

"Ma-Maven ...."

"I'm here." Maven menunduk sedikit. Mengunci mata indah Rhea, dia membawa salah satu puncaknya ke mulutnya dan mengigitnya pelan hingga Rhea gemetar.

"Benar, aku juga pernah ke sana. Tempatnya sangat bagus ...."

Mendengar obrolan di luar mobil membuat Rhea menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tubuh yang sebelumnya sudah rileks sekarang kembali menegang

Di sisi lain, Maven menyunggingkan senyum jahat. Dia memegang bokong Rhea dan mulai mendorong porosnya lebih dalam.

Tentu saja, itu membuat Rhea segera menatapnya takut. "Tidak. Berhenti—"

"Ssstt .... Jangan terlalu kencang, mereka akan mendengarmu."

Maven terus bergerak dan Rhea memohon kembali, "Kumohon berhenti ... dulu."

Suara orang-orang di luar masih terdengar hingga Rhea menjadi panik.

"Apa kau mendengar sesuatu?" tanya seseorang di luar.

"Apa?"

"Aku pikir aku mendengar suara tangisan."

"Astaga, kau jangan bercanda. Di sini tidak orang!"

"Maven, ayo kita hentikan," bisik Rhea.

Wajah memerah, mata basah, terkadang suara isakan lolos dari bibir kecilnya, belum lagi pakaiannya berantakan karenanya. Wanita ini tanpa disadarinya sudah merayu Maven. Membuat miliknya semakin membengkak di sana. Dia pun mengumpat pelan.

Menahan pinggang ramping Rhea, dia mendorong lebih dalam. Wajahnya dibenamkan ke payudaranya. Tidak peduli wanitanya menggeleng kuat. Tidak peduli wanitanya semakin panik.

"Ma ... ven."

"Bersamaku." Maven menjilati leher jenjangnya membuat Rhea menjerit tertahan di bahu suaminya.

Rhea merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dalamnya. Dan kesenangan yang gila itu membanjirinya hingga dia tidak berhenti gemetar.

Tiga orang yang mengobrol tadi sudah pergi entah sejak kapan. Apakah mereka mendengar suaranya tadi atau tidak, entahlah. Rhea tidak memiliki waktu memikirkannya. Dia masih menyandarkan tubuhnya pada Maven. Mencoba mengatur napasnya sambil memejamkan mata dengan perasaan kesal.

Jujur saja, perasaan itu terlalu mengerikan dan menakutkan walaupun datang sangat intens.

Di saat tangan kasar Maven mengusap pahanya, Rhea langsung menepisnya hingga ia membeku. Istrinya beranjak dari pangkuannya, duduk di kursi samping seraya membetulkan pakaiannya. Dan wanita ini melakukannya dalam kondisi diam dan menunduk, tidak menatapnya sama sekali. Namun ia bisa mengetahui bahwa istrinya tampak marah dilihat dari ekspresinya.

Apa aku terlalu berlebihan?


The Billionaire's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang