Jangan lupa klik bintang dan tinggalkan jejak di kolom komentar
Met baca!
-----
"Kamu ingat hari itu? Hari pertama kita bertemu di kampus? Kamu tersenyum lebar dan banyak wanita yang mengelilingimu." Enzo sering membicarakan topik ini ketika mereka berpacaran. "Saat itu aku sadar aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama ketika melihat senyuman indahmu."
Di luar pintu utama apartemen, Rhea mendenguskan tawa. "Keparat itu bicara omong kosong."
Dia menatap langit malam yang cerah. Bulan terlihat jelas dan bersinar terang. Bintang-bintang bertabur menghiasi langit. Tidak ada awan. Tidak ada tanda-tanda akan hujan.
Dia tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri. "Bahkan langit tidak ingin menangis untukku."
"Kenapa harus?" suara seorang pria bertanya padanya di sampingnya.
Tanpa menoleh, dia menanggapi, "Aku baru saja ditipu keka— tidak, mantanku. Dia berselingkuh dan mencampakkanku. Dia berkata aku gila, bukankah dia yang lebih gila? Dan sekarang aku menyesal karena tidak bisa menendang bolanya tadi."
Pria itu menatapnya. "Apa kamu tidak sakit hati?"
"Yah, jujur saja iya. Aku sakit hati. Tapi, jika dibandingkan dengan kemarahanku yang sangat besar, sakit hati ini menjadi tidak berarti apa-apa."
"Setelah dikhianati, kamu masih bisa mengendalikan dirimu. Itu bagus untukmu."
"Benarkah?" Benarkah dia cukup baik mengendalikan dirinya? Yah, bagaimanapun dia harus menahan amarahnya jika tidak ingin menjadi badut di depan mereka."
"Kau bisa melihat tanganmu sendiri."
Ah benar. Tangannya mengepal lagi. Pasti banyak bekas luka berbentuk bulan sabit di telapaknya setelah ini. "Itu satu-satunya cara agar aku tidak kehilangan kendali."
"Kamu akan membiarkan mereka begitu saja?"
Rhea menghirup napas dalam-dalam. "Mereka yang melakukan balas dendam itu sebenarnya orang yang lemah karena kalah di pertandingan awal. Dan hidup dengan bayangan di belakangnya hingga dendam teratasi. Bukankah itu menyedihkan? Seharusnya mereka merelakan saja apa yang sudah terjadi dan menatap ke depan. Tapi setelah aku merasakannya sendiri, aku tidak ingin melihat mereka bahagia di atas penderitaanku. Dikhianati itu rasanya menyakitkan. Apa aku harus tidur dengan temannya seperti yang dia lakukan? Tapi itu sepertinya mustahil karena aku tidak akan mau melakukan hal keji seperti itu ...."
Pria itu menatap Rhea yang menunduk sedih. Wanita ini sangat baik dalam pengendalian tangisannya. "Apa kamu menangisi mereka?"
Rhea menggigit bibirnya seraya mengusap pipinya yang basah. "Untuk apa menangisi dua kotoran itu? Lihatlah, langit bahkan memberiku dukungan. Dia tahu bahwa akan menghabiskan waktunya jika menurunkan hujan pada kondisi seperti ini."
Pria itu mengalihkan wajahnya dari Rhea dan ikut menatap langit malam. "Kamu benar. Langit sedang berada di sisimu. Dan untung saja kamu mengetahui sifat asli mereka sejak awal."
Rhea tersenyum miris. "Ini tetap terlambat pikirku, tetapi masih lebih baik. Jika kami sampai menikah, mungkin aku akan bunuh diri karena malu dan berakhir menyesal menikahinya." Mengerjapkan mata, Rhea kembali sadar jika dia baru saja membicarakan hal yang tidak perlu dengan orang asing. Dia terkekeh pelan sebelum mendongak untuk menatap pria di sebelahnya. "Drama ibu kota yang mengenaskan, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Billionaire's Bride
Romans#1 Billionaire Club Series Setelah mengetahui pengkhianatan pacar dan sahabat yang ia percayai ditambah lagi kepergian ayahnya, Rhea Pramidita benar-benar terpuruk dan putus asa. Lalu seorang pria muncul mengulurkan tangannya kepada Rhea. "Kau bisa...