Well, mereka berada di satu tempat kerja. Jika Rhea seorang kurator, Andini adalah edukator. Juga tidak mungkin mereka tidak akan bertemu. Hanya saja, dia masih tidak ingin bertemu dengannya di hari pertamanya kembali bekerja setelah cuti empat hari.
"Ayu bilang kamu sudah masuk hari ini jadi aku mencarimu ke mana-mana sejak tadi."
Suara sepatu hak tinggi terdengar semakin dekat dan berhenti di sebelah Rhea. Dia melirik ke samping dan melihat Andini yang tersenyum manis dengan posisi menghadapnya.
"Aku turut berduka atas kepergian ayahmu. Aku sudah menganggap Om Hans seperti ayahku sendiri. Kamu tahu, tiap kali aku ke rumah kalian dia selalu memanjakanku. Kamu pasti sedih sampai-sampai mengambil cuti cukup lama. Aku pun merasakan apa yang kamu rasakan, Rhe. Aku sangat sedih."
Apakah itu ekspresi orang yang berempati? Dia berbicara sambil tersenyum secantik yang ia bisa. Dan juga nada suaranya, kenapa harus setinggi itu? Rhea menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.
Ketika melihat beberapa rekan mereka lewat ekor matanya, dia mulai mengerti alasan Andini tidak bisa berbicara pelan.
"Rhe, kamu masih marah denganku?" Andini menatapnya dengan alis tertaut tampak gelisah. Matanya mulai basah dan dengan mudahnya dia menitikkan air mata yang tampak bercahaya. "Aku tahu itu adalah kesalahan. Sebelum Enzo semakin dekat denganku, dia sudah ingin memutuskanmu agar bisa mengumumkan hubungan kami secara resmi tetapi aku melarangnya. Walau terdengar menyakitkan, namun ... dia memang sudah tidak lagi mencintaimu. Tapi aku tahu seberapa besar cintamu padanya dan aku tidak ingin menjadi sahabat yang jahat. Maka dari itu aku mencoba menjauhi dia. Tapi, tapi aku ...."
Andini terisak sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Maafkan aku, Rhe. Hubungan kami semakin kuat dari hari ke hari dan aku membalas perasaannya. Aku harap kamu bisa memahami posisiku. Karena ini urusan kalian berdua, Enzo bilang akan menunggu momen yang baik untuk bicara denganmu. Aku tidak bisa melakukan apa pun selain mengikuti perkataannya. Kamu tahu aku seperti apa, kan, Rhe? Aku tidak pandai beragumen."
Rekan-rekan mereka mulai berdatangan dan mendengar tangisan Andini yang heboh menyebabkan Rhea mendenguskan kekehan dingin. Dari cara bicaranya yang mulus tentu saja pekerjaannya memang layak disandang seorang Andini.
Semua rekannya sudah tahu bahwa Rhea berpacaran dengan Enzo. Pria itu sering menjemputnya di Art Centre. Selain itu, beberapa kali Enzo datang ke pesta kecil-kecilan timnya dan mentraktir mereka. Mereka mengetahui pekerjaan Enzo yang menjadi nilai plus untuk pria itu dan membuat semua temannya selalu menyerukan betapa irinya mereka kepadanya.
Maka dari itu, sebelum Rhea bisa menghinanya, Andini sudah mengambil langkah di depannya. Dia sengaja datang lebih dulu, mengakui kesalahannya secara singkat, meminta maaf setengah hati, lalu menangis sangat banyak seolah-olah dialah yang paling menderita dan menyesal. Hal itu bertujuan agar semua orang yang sedang menonton hiburan itu akan bersimpati untuk Andini dan tidak menuduhnya wanita jahat yang mengambil kekasih sahabatnya sendiri.
Dan juga, jika Rhea marah tidak puas dengan permintaan maafnya, rekan-rekannya pasti akan melindungi makhluk lemah dan tidak berdaya seperti Andini dari amukannya.
Wanita ini sungguh licik.
Tiap kali Andini membuat kesalahan, dia selalu membuat dirinya sendiri seperti seorang korban. Dia akan menangis pilu sambil meminta maaf singkat kemudian beralasan dia tidak bisa melakukan apa pun selain menuruti orang tersebut. Dia selalu berhasil menggunakan air matanya dan sikap lemahnya. Rhea tidak bisa tidak berhenti terpukau dengan akting wanita ini.
"Kami bertengkar lagi." Rhea menggelengkan kepala. "Aku pikir kami akan bisa menyelesaikannya seperti sebelumnya."
Andini tengah mengaduk air jeruk dengan penuh perasaan. Dalam apartemennya yang kecil, dia kemudian menatap Rhea yang duduk di sofa dengan mata bengkak. Dia membawa gelas tersebut dan meletakkannya di meja.
"Aku merasa dia memiliki kekasih lain." Rhea menoleh ke samping dan melihat Andini tersenyum memesona. "An, apa kekhawatiranku terlalu berlebihan? Aku takut ...."
Dengan senyum lebar, Andini mengusap bahu Rhea. "Aku mendengarkanmu."
"Mungkin ini adalah takdir kami." Andini menarik Rhea kembali ke masa sekarang. "Mungkin selama ini kamu hanya menjadi penjaga untuk takdirku, Rhe. Sampai aku menyadari ternyata jodohku sangat dekat. Rhe, terima kasih untuk menjaganya selama ini. Jika kamu ingin marah, marahi saja aku. Kumohon jangan memarahi Enzo. Dia hanya tersesat dan berpikir jika kamu adalah jalan terakhirnya. Nyatanya itu salah."
Ini benar-benar membosankan. Sepanjang Andini bicara, Rhea menatapnya datar tanpa minat. Setelah malam dia melihat pengkhianatan mereka lalu melihat tingkah wanita ini sekarang, matanya mulai terbuka. Dia segera tahu sifat asli orang yang ia anggap sahabat seperti apa. Di saat dia bercerita ketika dia bertengkar dengan Enzo, Andini selalu tersenyum padanya. Dulu dia berpikir wanita ini mencoba membuat dia tidak memikirkan hal buruk dan kembali semangat setelah itu. Namun dia menyadari hal lainnya. Semakin terpuruk dia saat berkeluh kesah, senyuman Andini semakin lebar. Ya, wanita ini semakin bahagia di atas penderitaannya.
Ada perasaan sangat lega di dalam hati kecil Rhea. Setelah melihat sifat asli Andini, dia menyadari betapa bodohnya dia dulu. Untung saja dia mengetahuinya sekarang walau sedikit terlambat.
Tidak ingin Andini memimpin drama ini terlebih jauh, Rhea yang sedari tadi tidak memasang ekspresi apa pun mulai dengan perlahan tersenyum.
"Kau bilang kau berduka pada orang yang sudah kau anggap ayahmu sendiri?"
Andini menatap Rhea. "Ya—"
"Tapi, kenapa kau tidak datang ke pemakaman sedangkan yang lainnya datang? Bahkan tim lain yang jarang bertemu masih sempat datang dan mengucapkan bela sungkawa. Padahal aku menganggapmu seperti saudariku sendiri, An. Ke mana satu-satunya sahabatku ketika aku sedang terpuruk? Kenapa kau menghilang ketika aku sangat membutuhkanmu?"
"Uhm itu ...."
"Benar juga, aku tidak melihat Andini di rumah Rhea."
"Di pemakaman juga."
Secara naluriah Andini melirik beberapa penonton yang menatapnya sambil berbisik membuat dia gugup. Dia membasahi bibirnya, memikirkan alasan yang masuk akal. "A-Aku sakit. Jadi—"
"Lalu kenapa kau yang berterima kasih?" Tiba-tiba saja Rhea memegang kedua tangan Andini membuat wanita itu terkejut dan tidak bisa melanjutkan kebohongannya. Dia tersenyum sangat lebar tapi tidak sampai ke mata. "Harusnya aku yang berterima kasih!"
Andini mengedipkan matanya bingung. "Hm?"
"Terima kasih karena sudah membuka mataku tentang betapa buruknya Enzo!"
Deg!
Ucapan Rhea ditambah lagi wajah menyeramkan yang ia pasang sungguh membuat Andini pucat.
Seruan Rhea seketika menarik perhatian seluruh penonton dan itu tidaklah baik untuk Andini. Ia dengan gelisah melirik semua orang. Mereka semua mulai berbisik dengan wajah tidak senang yang diarahkan ke arahya. Dia yang berpikir jika akan mendapatkan dukungan dari rekannya malah mendapatkan tatapan tidak nyaman. Kegelisahannya semakin menjadi.
"R-Rhe ...." Suara Andini sedikit bergetar. Dia berusaha menarik tangannya namun genggaman Rhea sangat kuat hingga terasa sakit.
"Kau sangat mencintainya, kan? Karena aku suka bersedekah, maka ambillah. Aku orang yang murah hati. Iya, kan, An?"
_______________
WAKTUNYA PEMBALASAN??
Seberapa suka kalian dengan bab ini?
Jangan lupa klik bintang dan tinggalkan jejak di kolom komentar biar aku mangats hehehee
KAMU SEDANG MEMBACA
The Billionaire's Bride
Dragoste#1 Billionaire Club Series Setelah mengetahui pengkhianatan pacar dan sahabat yang ia percayai ditambah lagi kepergian ayahnya, Rhea Pramidita benar-benar terpuruk dan putus asa. Lalu seorang pria muncul mengulurkan tangannya kepada Rhea. "Kau bisa...