1

1.1K 66 0
                                    

Di dalam Mansion megah Dirgantara yang diterangi oleh lampu-lampu kristal yang berkilauan, suasana penuh kemegahan dan keanggunan terasa memancar. Lantai marmer putih yang bersih memantulkan cahaya lampu, dan perabotan mewah serta hiasan bunga segar menciptakan suasana yang elegan. Acara malam itu adalah acara perkenalan calon penerus keluarga Dirgantara, serta memperkenalkan anak-anak dari keluarga besar Dirgantara.

Panggung di depan ruangan dihiasi dengan tirai berwarna emas, dan di atasnya, seorang MC dengan pakaian formal mengumumkan dengan suara lantang, “Selamat malam, hadirin sekalian. Malam ini adalah malam yang istimewa, di mana kita akan memperkenalkan calon penerus keluarga Dirgantara yang terhormat serta anak-anak dari keluarga besar Dirgantara. Mari kita sambut dengan hangat para calon penerus keluarga Dirgantara.”

Di samping panggung, para anggota keluarga besar Dirgantara berkumpul dengan anggun, mengenakan busana formal yang memukau. Tuan Besar Wijaya Dirgantara, pria berusia 70 tahun yang berwibawa, berdiri di podium dengan sikap yang penuh karisma. Ia memandang audiens dengan tatapan tajam dan penuh kebanggaan. Setelah MC menyelesaikan pengantar, Tuan Besar mulai memberikan sambutan, “Selamat malam kepada seluruh tamu undangan dan keluarga besar Dirgantara. Malam ini, kita berkumpul untuk merayakan penerus-penerus keluarga kita yang akan membawa nama Dirgantara ke masa depan yang gemilang. Kami bangga memperkenalkan calon penerus yang terpilih dari keluarga ini.”

Sementara acara berlangsung, di sudut ruangan yang jauh, di belakang tirai, Saka Dirgantara berdiri terpaku. Ia hanya bisa menyaksikan dari jauh, karena ayahnya, Dinata Dirgantara, dan Ibundanya, Rosa Dirgantara, tidak memperbolehkannya untuk ikut serta dalam acara tersebut. Meski Saka mencoba menenangkan dirinya, hatinya terasa berat dan sesak. Setiap kali ia melirik ke arah kerumunan, ia bisa melihat betapa terangnya cahaya yang menyinari keluarga dan calon penerus yang disanjung-sanjung. Namun, Saka hanya bisa berdiri dalam bayang-bayang, terasing dan terabaikan.

Sementara itu, para pelayan mansion yang berlarian untuk melayani para tamu tidak melewatkan kesempatan untuk mengejek Saka yang berada di sudut ruangan. Salah satu pelayan, seorang wanita paruh baya dengan ekspresi sinis, berbisik kepada rekannya, “Lihatlah anak itu, Saka. Tidak pernah ada tempat untuknya di sini. Hanya menjadi tontonan murahan, tak pernah diinginkan oleh keluarga.”

Rekan pelayan yang lain, dengan tatapan meremehkan, menjawab, “Ya, benar. Bahkan ketika ada acara penting seperti ini, dia hanya dipinggirkan. Betapa malangnya nasibnya. Tidak ada yang peduli padanya.”

Saka mencoba menahan air mata yang hampir menetes. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha keras untuk tidak menunjukkan emosinya. Ia mengerti bahwa dia tidak diinginkan, tetapi tetap saja, setiap kata dan cemoohan terasa menusuk hatinya. Di tengah kemegahan dan pujian yang diterima oleh saudara-saudaranya, Saka merasa semakin kecil dan terasing.

Acara berlangsung dengan megah, sementara di sudut ruangan, Saka tetap berdiri dalam kesepian, menanti saat ketika malam ini akhirnya berakhir. Dalam kesunyian itu, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah berharap bahwa suatu hari nanti, akan ada perubahan dan tempat bagi dirinya di dalam keluarga yang selama ini hanya memberinya rasa sakit.

.
.
.
.
.
.
.
.

Tbc

Semoga kalian suka yaa


Arsaka DirgantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang