5

765 43 3
                                    

Jam 4 pagi, Suasana di kediaman Dinata dan Rosa masih tenang, hanya terdengar suara lonceng jam dinding yang bergetar pelan. Namun, di dapur yang gelap, Saka sudah sibuk. Dengan cekatan, ia menyikat pakaian kotor yang menumpuk di sudut kamar mandi. Setiap gerakan tangannya menunjukkan betapa terbiasanya dia dengan pekerjaan ini.

Saka tidak hanya melakukan pekerjaan rumah tangga; dia juga harus menghadapi cacian dari keluarganya. Ayahnya, Dinata, seringkali berteriak kepadanya. Bundanya, lebih memilih diam saat suaminya memarahi saka namun tatapan dinginnya sangat menusuk. Kakaknya, Deon, dan adiknya, Sagara, seringkali mengabaikannya atau memberi komentar sinis kepadanya. Bahkan para maid yang bekerja di rumah mereka seringkali mencibir dan mentertawakan saka yang sering dimarahi.

Meskipun begitu, saka tetap menghadapi dengan lapang dada, sabar menerima cacian dan hinaan yang dilontarkan untuknya.

Sambil menyiram pakaian yang sedang dicuci saka bergumam sendiri, "Cepatlah, Saka, masih banyak yang harus dikerjakan."

Setelah selesai dengan mencuci baju, Saka segera mengepel lantai, lalu menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Tangan dan kakinya sudah mulai lelah, tapi dia tetap bekerja keras. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi, dan Saka harus segera menyelesaikan pekerjaannya.

Ia mengelap meja, mencuci piring, dan mulai mempersiapkan sarapan. Ayahnya, Dinata, tiba-tiba muncul dengan tatapan marah.

“Saka! Kenapa sarapan belum siap juga? Sudah berapa kali aku bilang, pagi-pagi begini harus sudah siap, Kenapa kau lambat sekali." Kata Dinata dengan marah.

“Maaf, Ayah. Saka masih menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah, Saka akan berusaha secepat mungkin.” Ucap saka minta maaf.

"Cepat selesaikan atau kau akan menerima akibatnya." Ucap Dinata mengancam

"Baik Ayah"

Saka hanya mengangguk dan mencoba tetap tenang, dia berusaha mempercepat pekerjaannya. Setelah sarapan akhirnya siap, dia mengambil makanan dan membawanya ke meja makan.

Tiba-tiba Deon melintas dan berkata dengan sarkas. "Lihat, kau seperti pelayan murahan saja. Tidak usah berharap lebih kau akan mendapat pujian dari kami."

"Kakak, dia kan memeng pelayan murahan  hahaha," Sahut Sagara tertawa mengejek. Padahal yang dia ejek adalah kakak kandungnya sendiri.

Di Sudut ruangan beberapa maid terlihat mentertawakan saka dan berkata dengan sinis.

“Hahaha! Saka, betapa malangnya kamu. Tidak usah berusaha keras, kamu hanya akan jadi bahan tertawaan kami!”

"Bahkan tidak ada yang akan menghargai kerja keras mu disini, hahaha!"

"Derajatmu bahkan masih jauh dibawah kami!"

Saka hanya diam mendengar setiap kata demi kata yang menyakitkan dari mereka. Dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.

Benar apa yang dikatakan oleh mereka, Berapa kali pun dia berusaha, Seberapa keras pun usahanya untuk meluluhkan hati mereka, tidak akan ada gunanya dimata keluarganya. Jadi saka hanya bisa berharap suatu saat nanti, keluarganya akan balik menyayanginya. Dia akan menunggu itu, meskipun maut menjemputnya.

Setelah selesai dengan semua pekerjaan rumahnya, Saka buru-buru pergi untuk mengambil susu dan koran dari tokonya, Kemudian mengantarkan ke para pemesan. Setelah itu baru ke Sekolah.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Di sekolah, suasana di kelas olahraga sangat ramai. Beberapa siswa bermain basket, beberapa bermain sepak bola, dan yang lainnya duduk di pinggir lapangan hanya menjadi penonton.

Arsaka DirgantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang