Setelah mendengar penjelasan dari Febi tentang penyakit kanker hati yang di derita anaknya. Dinata merasa sangat sedih.
Kanker hati, atau kanker liver, adalah pertumbuhan jaringan abnormal di hati yang dapat berasal dari sel hati itu sendiri atau penyebaran dari organ lain. Kanker ini sering kali tidak menunjukkan gejala pada tahap awal, sehingga banyak pasien baru menyadari kondisinya saat stadium sudah lanjut.
Kanker hati merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi akibat kanker di dunia, dengan lebih dari 800.000 kematian setiap tahunnya. Penyebab utama kanker hati termasuk sirosis, infeksi virus hepatitis, dan faktor genetik.
Dinata, yang merasa bersalah atas perlakuannya di masa lalu, kini dihadapkan pada kenyataan pahit dari penyakit yang mengancam nyawa ini.
Kenangan akan perlakuannya yang tidak mencerminkan sifat seorang ayah kepada anaknya muncul kembali.
Kebencian yang pernah ada kini tergantikan oleh rasa penyesalan dan keinginan untuk mendukung Saka dalam perjuangannya melawan penyakitnya . Dinata menyadari bahwa waktu yang tersisa untuk bersama putranya sangat berharga.Dinata duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Saka dengan lembut.
“Bagaimana perasaanmu, Nak?” tanya Dinata, berusaha tetap tegar di depan anaknya.
Saka tersenyum tipis, “Aku baik-baik saja, Ayah. Hanya sedikit pusing.” Namun, dalam hatinya, Saka merasa berat. Ia tahu bahwa penyakitnya bukan hanya beban untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarganya.
Tak lama kemudian, Perawat masuk membawa obat-obatan untuk Saka. Dinata membantu Saka meminumnya, berharap obat-obatan itu dapat memperbaiki kondisi putranya.
Setelah perawat keluar, suasana di ruang rawat menjadi hening. Dinata memandang Saka dengan penuh perhatian.
"Sekarang tidur ya, istirahat yang cukup biar cepat sembuh." Kata Dinata tersenyum."Iya ayah." Ucap saka mengambil posisi untuk tidur, kemudian Dinata menyelimutinya dan mengecup kening nya dengan lembut.
....
Dinata keluar dari ruangan rawat saka dengan cepat, meraih ponselnya yang bergetar. Suara Rosa terdengar panik di ujung telepon.
"Mas, Di mana kamu? Kenapa kamu dan anak-anak tidak pulang ke Mansion?” tanya Rosa, suaranya penuh kecemasan.
“Aku dan anak-anak di rumah sakit,” jawab Dinata, berusaha tenang.
"Rumah sakit? Siapa yang sakit mas? Apakah kalian baik-baik saja?" Rosa bertanya dengan nada cemas, takut terjadi sesuatu pada anak dan suaminya.
"Kami baik-baik saja sayang." Jawab dinata, dan terdengar nada kelegaan di seberang sana.
"Lalu kenapa kalian di rumah sakit mas?" Tanya rosa penasaran.
“Kami menjaga Saka.”
“Saka? Kenapa tiba-tiba kalian peduli pada dia? Bukankah selama ini kita sangat membencinya? Apa yang terjadi?” Rosa menanyakan dengan nada tidak suka.
Dinata merasakan kemarahan mulai membara di dalam dirinya. “Sayang, ini bukan saatnya untuk membahas kebencian kita terhadap Saka! Dia adalah anak kita, dan dia membutuhkan kita sekarang!”
“Anak kita? Dia bukan anak yang kita inginkan! Dia selalu menjadi sumber masalah dalam keluarga kita!” Rosa berargumen, suaranya semakin meninggi. “Kenapa kamu baru sekarang ingin memperbaiki hubungan dengan dia? Ini semua terasa sangat aneh mas!”
Dinata menghela napas, berusaha tetap tenang. “Karena aku baru menyadari kesalahanku. Aku menyesal telah menyia-nyiakannya. Dia tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu dari kita.”
"Menyesal? Itu tidak mengubah apa yang telah terjadi! Dia adalah anak pembawa sial yang selalu membuat masalah di keluarga kita mas!” Rosa menolak untuk menerima penjelasan suaminya.
“Dia sakit, Rosa! Dia mengidap kanker hati!” Dinata mengungkapkan dengan nada yang penuh emosi.
"Anak kita sakit Rosa, dia sakit." Kata dinata lagi menahan air matanya untuk tidak keluar.
"Mas...." Ucap rosa tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia tidak menyangka dengan fakta yang dia dengar barusan.
"Kita seharusnya tidak membiarkan kebencian menghalangi kita untuk menjadi orang tua yang baik sayang." Lanjut Dinata
“Cobalah! Cobalah untuk melihatnya sebagai anak kita, bukan sebagai sumber masalah! Kita harus berusaha untuk menjadi orang tua yang lebih baik, kamu bisa renungkan dulu kata-kataku tadi sayang. Kalau begitu, aku tutup dulu telfonnya.” kata Dinata menasihati istrinya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Rosa menatap kosong kedepan dengan perasaan berkecamuk. Kata-kata Dinata terus bergema di kepalanya, mengganggu ketenangannya.
"Dia adalah anak kita, dan dia membutuhkan kita sekarang lebih dari sebelumnya."
Rosa menghela napas berat, merasakan beban yang menghimpit dadanya. Memang benar, Saka adalah anak mereka, darah daging yang terlahir dari cinta yang mereka bagi bersama. Tapi kenapa rasanya begitu sulit untuk menerimanya?
"Kita seharusnya tidak membiarkan kebencian kita menghalangi kita untuk menjadi orang tua yang baik."
Rosa teringat kembali pada malam kelam itu, ketika hidup mereka berubah selamanya. Musuh keluarga Dirgantara dan keluarga Adyatama menyerang.
Dalam kekacauan, Saka yang masih berusia lima tahun hampir menjadi korban. Tuan Adyatama, kakek Saka, Ayah dari Rosa, berlari ke arahnya, menempatkan dirinya sebagai tameng saat timah panas mengarah ke cucunya.
Rosa masih bisa melihat gambaran itu: Ayahnya terjatuh, tubuhnya terkulai, dan darah menggenang di lantai. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Rosa memejamkan mata, mengingat semua kenangan buruk yang pernah mereka alami bersama Saka. semua rasa sakit, semua kekecewaan.
Bagaimana mungkin dia bisa melupakan semua itu? Saka adalah penyebab kematian Tuan Adyatama, Ayahnya, dan kebencian itu telah mengakar dalam hati mereka.
Tetapi dia teringat lagi kata-kata suaminya"Dia tidak bersalah atas apa yang terjadi pada saat itu."
Sebuah kebenaran yang pahit. Saka hanyalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Dia tidak pernah meminta untuk terlahir di tengah-tengah keluarga yang penuh konflik. Dia tidak pantas menerima kebencian yang mereka curahkan.
"Kita harus berusaha untuk menjadi contoh yang baik untuk Deon dan Sagara."
Rosa membayangkan wajah kedua putranya yang lain. Deon dan Sagara, yang selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. Apakah mereka juga merasakan sakit yang sama seperti Saka? Apakah mereka menginginkan keluarga yang utuh dan bahagia?
"Saka adalah anak kita, dan dia butuh kita."
Kata-kata Dinata terakhir kali terngiang di telinganya. Saka membutuhkan mereka. Tidak peduli seberapa besar kebencian yang mereka rasakan, Saka tetaplah anak mereka yang membutuhkan kasih sayang orang tua. Apakah mereka tega membiarkannya sendirian?
Rosa membuka mata, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Hatinya terasa berat, tapi juga ada secercah harapan yang mulai menyala. Mungkin, hanya mungkin, dia bisa mencoba untuk membuka hatinya sekali lagi.
Bukan untuk melupakan semua yang pernah terjadi, tapi untuk memberikan kesempatan. Kesempatan bagi Saka untuk membuktikan bahwa dia pantas menerima cinta mereka. Kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik.
Rossa bangkit dari tempat tidur, tekad baru terpancar di matanya. Dia harus mencoba. Demi Saka, demi Deon dan Sagara, demi keluarga mereka. Meskipun jalan yang harus ditempuh tidak mudah, tapi setidaknya dia akan berusaha.
Karena itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang ibu. Mencintai dan mendukung anak-anaknya, tidak peduli apa yang terjadi. Dan Rosa bertekad untuk menjadi ibu yang lebih baik, mulai dari sekarang.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Arsaka Dirgantara
General FictionSeorang anak bernama arsaka dirgantara menjalani kehidupannya dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Sejak kecil, saka telah menghadapi penolakan dari keluarganya. Keluarga besar dirgantara, baik dari pihak ayah maupun ibu, mereka tidak pernah menyem...